Keputusan Terbesar Sejak Larangan Plastik Sekali Pakai
Pemerintah akhirnya melaksanakan keputusan yang telah lama tertunda dan—secara mengejutkan—tidak terlalu populer: mewajibkan semua warga negara untuk menjadi vampir. Alasannya sederhana, menurut Menteri Transformasi Sosial dan Hemat Energi, Bapak Sulaiman Mahendra: “Jika semua orang vampir, kita bisa mengurangi konsumsi makanan, listrik, bahkan kebutuhan tidur. Bayangkan penghematan anggaran negara!”
Tentu saja, publik tidak begitu yakin. Terlebih karena argumen penghematan energi ini datang dari pria yang memiliki koleksi 237 lampu meja di kantornya.
Proses Transformasi yang “Mudah dan Menyenangkan”
Untuk meyakinkan publik, pemerintah meluncurkan kampanye nasional berjudul “Gigitan untuk Masa Depan.” Ini melibatkan brosur berwarna cerah, iklan TV dengan nada optimis, dan maskot vampir bernama Vino, yang—entah kenapa—lebih mirip kucing gemuk daripada makhluk malam menyeramkan.
Proses transformasi dijelaskan sebagai “mudah dan menyenangkan.” Warga cukup mengunjungi Pusat Transformasi Vampir (PTV) terdekat, mendapatkan gigitan resmi dari vampir bersertifikat, dan voila! Anda langsung menjadi makhluk abadi yang bergigi tajam. Pemerintah bahkan menawarkan insentif berupa diskon pajak dan kupon belanja untuk darah sintetis.
Namun, ada beberapa detail kecil yang sengaja tidak ditekankan dalam brosur, seperti fakta bahwa transformasi vampir tidak sepenuhnya bisa dibalik. Atau bahwa Anda mungkin akan mengembangkan alergi akut terhadap bawang putih, matahari, dan—untuk alasan yang misterius—musik dangdut.
Respon Publik: Antara Kekacauan dan Kebingungan
Seperti yang bisa diperkirakan, kebijakan ini memicu kekacauan besar. Orang-orang berdebat sengit di media sosial. “Apakah ini termasuk pelanggaran HAM?” tanya seorang aktivis HAM. “Apakah anjing saya juga harus jadi vampir?” teriak seorang warga di Twitter, meskipun tidak ada indikasi pemerintah akan memvampirisasi hewan peliharaan.
Kemudian muncul kelompok penentang yang menamakan diri mereka “Gerakan Anti Vampirisasi Nasional” atau GAVN. Motto mereka: “Kami lebih suka tidur siang daripada tidur di peti mati!” Mereka mengadakan protes besar-besaran di depan gedung parlemen, lengkap dengan spanduk bertuliskan, “Gigitan Ini Tidak Masuk Akal!” dan “Kami Tidak Mau Jadi Twilight!”
Di sisi lain, ada juga kelompok yang sangat mendukung kebijakan ini, dengan alasan yang cukup aneh. “Saya selalu ingin jadi abadi, jadi ini kesempatan emas!” kata seorang influencer terkenal, yang langsung mempromosikan produk make-up tahan darah di Instagram.
Masalah Logistik yang Luar Biasa
Sementara itu, di lapangan, pelaksanaan kebijakan ini menghadapi tantangan yang luar biasa. Pertama, jumlah vampir bersertifikat tidak cukup untuk menggigit seluruh populasi. Pemerintah mencoba merekrut lebih banyak vampir, tetapi banyak dari mereka menolak dengan alasan “gigi kami bukan alat produksi massal.”
Kedua, tidak semua orang cocok menjadi vampir. Misalnya, Pak Suripto, seorang petani bawang yang tiba-tiba kehilangan semua penghasilan karena dia tidak bisa lagi mendekati ladangnya. Atau Bu Ratna, yang mendapati bahwa anak-anaknya—yang masih manusia—terus-menerus mencoba mengoleskan bawang putih di pintunya, hanya untuk melihat apakah dia benar-benar vampir sekarang.
Ketiga, darah sintetis yang dijanjikan pemerintah ternyata memiliki rasa seperti jus bit basi. Ini menyebabkan keluhan massal dari para vampir baru, yang mulai merindukan rasa darah manusia asli. Tetapi, karena konsumsi darah manusia dilarang keras oleh pemerintah, masalah ini tetap menjadi polemik.
Twist yang Menggigit (Secara Harfiah)
Semua kekacauan ini mencapai puncaknya ketika seorang peneliti muda di Kementerian Kesehatan, Dokter Lestari, menemukan fakta mengejutkan: transformasi vampir memiliki efek samping yang tidak terduga. Ternyata, para vampir baru ini tidak hanya alergi terhadap matahari, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk membaca dokumen resmi lebih dari dua halaman.
Efek samping ini langsung melumpuhkan birokrasi pemerintah. Pegawai negeri, yang sebagian besar sudah menjadi vampir, tidak lagi bisa membaca laporan tahunan atau anggaran negara tanpa merasa pusing dan mual. Ini menyebabkan stagnasi total di hampir semua kementerian.
Sebagai tanggapan, pemerintah mengeluarkan kebijakan darurat: semua dokumen resmi harus dirangkum dalam satu paragraf atau kurang. Hasilnya? Anggaran negara tahun berikutnya hanya berbunyi: “Kita lihat nanti.”
Akhir yang Tak Terduga (dan Sedikit Absurd)
Pada akhirnya, kebijakan vampirisasi nasional dihentikan setelah hanya tiga bulan. Pemerintah mengklaim bahwa ini adalah “eksperimen sosial sukses” dan berjanji untuk fokus pada kebijakan yang lebih konvensional, seperti pengurangan emisi karbon atau reformasi pajak.
Namun, bagi banyak orang, kerusakan sudah terjadi. Ribuan orang tetap menjadi vampir, mencoba beradaptasi dengan kehidupan baru mereka. Klub-klub malam di seluruh negeri mulai buka 24/7 untuk melayani pelanggan vampir. Pasar gelap bawang putih berkembang pesat. Dan Vino, maskot kampanye, pensiun dini karena tekanan publik.
Sementara itu, di sudut terpencil Jakarta, Pak Suripto—petani bawang yang kini menjadi vampir—berdiri memandangi ladangnya dengan sedih. “Setidaknya,” gumamnya, “saya tidak perlu khawatir tentang kulit terbakar lagi.”
Ilustration: “A confused vampire wearing a suit, sitting in a government office filled with stacks of unreadable papers, while a cartoonish garlic seller protests outside the window. The vampire looks frustrated, holding a cup labeled ‘synthetic blood latte.'”

