Kursus Telekinesis: Angkat Sendok, Angkat Dunia

Kursus Telekinesis: Angkat Sendok, Angkat Dunia

Selamat Datang di Kelas dengan Harapan yang Mengambang

Di sebuah balai pertemuan yang dulunya adalah studio yoga—lengkap dengan aroma lilin lavender yang tak kunjung hilang dan cermin panjang yang memperlihatkan betapa tidak siapnya wajah-wajah yang hadir—terkumpullah sekelompok individu paling unik di kota kecil Prapatan Lurus. Mereka bukan datang untuk yoga atau meditasi, melainkan untuk sesuatu yang, menurut brosur neon mencolok di halte bus kota, akan “mengubah hidup Anda dengan kekuatan pikiran Anda sendiri.”

Ini adalah hari pertama dari Bimbingan Belajar Telekinesis untuk Pemula. Dan, seperti yang akan segera disadari semua orang, termasuk instruktur mereka, ini bukan kelas biasa.

Perkenalan yang Tidak Terlalu Meyakinkan

“Selamat pagi, semuanya!” seru seorang pria berusia sekitar 40-an dengan rambut yang tampak seperti telah dikalahkan oleh angin ribut. Dia mengenakan t-shirt bertuliskan “Keep Calm and Levitate” yang warnanya sudah pudar seperti semangatnya. Namanya Pak Darto, dan meskipun ia adalah instruktur telekinesis, tidak ada sesuatu pun di ruangan itu yang tampak mengambang—selain antusiasme murid-muridnya yang mulai menurun.

Pak Darto melanjutkan, “Nama saya Darto. Tapi tolong panggil saya Guru Darto, karena itu terdengar lebih berbobot.” Dia kemudian menatap sendok logam yang sudah ia letakkan di meja di depannya, mencoba sekuat tenaga untuk membuatnya melayang. Sebuah hening yang canggung menyelimuti ruangan selama sepuluh detik penuh sebelum akhirnya ia menyerah dan berkata, “Ya, begitulah. Kadang telekinesis butuh waktu.”

Di antara murid-muridnya, ada Bu Siti, seorang ibu rumah tangga yang ingin menghemat tenaga saat membersihkan rumah; Pak Johan, seorang satpam yang merasa telekinesis akan membuat pekerjaannya lebih mudah (atau setidaknya lebih keren); dan Rian, seorang mahasiswa yang datang hanya karena ia salah membaca brosur dan mengira ini adalah kelas “meningkatkan konsentrasi.”

Pelajaran Pertama: Jangan Pernah Meremehkan Sendok

“Telekinesis,” Guru Darto memulai dengan nada yang sangat serius, “bukan sekadar membuat benda melayang. Telekinesis adalah seni, ilmu, dan, bagi sebagian orang, alasan untuk tidak lagi menggunakan tangan mereka saat makan popcorn.”

Dia kemudian mengeluarkan alat peraga utama kelas: sendok logam biasa. “Kita akan mulai dari yang kecil. Menggerakkan sendok. Karena, mari kita jujur, jika Anda bisa menggerakkan sendok, Anda bisa menggerakkan dunia.”

Pak Johan mengangkat tangan. “Tapi, Guru, kenapa harus sendok? Kenapa tidak sesuatu yang lebih berguna, seperti remote TV?”

Guru Darto mengangguk dengan bijak, seolah-olah telah mempertimbangkan pertanyaan filosofis ini selama bertahun-tahun. “Sendok adalah simbol dari harmoni alam semesta, Pak Johan. Juga, remote TV terlalu mahal untuk risiko jatuh.”

Semua orang mulai fokus pada sendok mereka masing-masing. Bu Siti memandang sendoknya dengan intensitas yang bahkan membuat sendok itu tampak gugup. Rian, di sisi lain, hanya menatap sendoknya sambil mengunyah keripik kentang.

Keajaiban yang Hampir Terjadi

Setelah dua jam penuh dengan suara “hmmmm” dan “mungkin ini berhasil” yang berulang, akhirnya sesuatu terjadi. Sendok milik Bu Siti mulai bergoyang, sedikit. Semua orang berseru kagum, termasuk Guru Darto, yang langsung mendekati Bu Siti dengan penuh semangat.

“Luar biasa! Lihat, murid-murid, ini adalah bukti bahwa telekinesis itu nyata!” teriak Guru Darto.

Namun, setelah diperiksa lebih dekat, ternyata lantai studio yoga itu sedikit miring, dan sendok itu hanya tergelincir pelan karena gravitasi. Kekecewaan meliputi ruangan, tetapi Guru Darto cepat-cepat mengalihkannya.

“Baiklah, mungkin itu bukan telekinesis, tapi itu adalah tanda bahwa alam semesta sedang mendukung kita! Kita hanya perlu fokus lebih keras. Ingat, telekinesis adalah tentang koneksi antara pikiran dan objek.”

Gangguan dari Dunia Nyata

Tepat ketika kelas mulai kembali fokus, pintu balai pertemuan tiba-tiba terbuka, dan seorang pria dengan helm proyek masuk sambil membawa pipa PVC. “Maaf, ini ruangannya, ya? Saya mau pasang AC.”

Guru Darto menatap pria itu dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa ini adalah pelanggaran serius terhadap kehormatan seni telekinesis. “Pak, ini adalah ruang suci untuk latihan energi mental. AC akan mengganggu aliran chi.”

Pria itu tampak kebingungan. “Chi? Bukannya ini karena kipas anginnya rusak?”

Setelah sepuluh menit negosiasi yang lebih mirip adegan sinetron, akhirnya diputuskan bahwa pemasangan AC akan ditunda hingga kelas selesai. Murid-murid, yang sudah mulai bosan, memutuskan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk istirahat makan siang.

Kesimpulan yang Mengambang

Pada akhir sesi, tidak ada sendok yang benar-benar melayang, tetapi semua orang sepakat bahwa mereka merasa “lebih dekat” dengan sendok mereka daripada sebelumnya. Guru Darto, yang tampaknya puas dengan pencapaian ini, mengumumkan bahwa pertemuan berikutnya akan melibatkan “usaha kolektif” untuk mengangkat sesuatu yang lebih besar, seperti kursi plastik.

“Telekinesis bukanlah tentang hasil,” kata Guru Darto dengan nada bijak. “Ini tentang perjalanan. Dan, jika perjalanan itu melibatkan sendok, maka kita harus menghormatinya.”

Meskipun tidak ada yang benar-benar yakin apa yang ia maksud, semua murid mengangguk dengan serius. Karena, pada akhirnya, siapa yang tidak ingin merasa seperti mereka memiliki kekuatan super—meskipun hanya untuk mengangkat sendok?


Prompt untuk DALL-E (dalam Bahasa Inggris): A whimsical classroom scene with people concentrating intensely on spoons, a quirky instructor wearing a “Levitate” t-shirt, and a humorous, slightly chaotic atmosphere.