Kehidupan Pahit Pak Happy

Kehidupan Pahit Pak Happy

Kebahagiaan yang Berbahaya

Di sebuah kota kecil bernama Sungsang, tinggal seorang pria bernama Happy. Ironis memang, karena nama itu adalah satu-satunya hal yang “happy” dari dirinya. Happy memiliki sebuah kondisi medis langka yang membuat para dokter mengerutkan dahi dan para psikolog memutar otak hingga mendidih: dia alergi terhadap kebahagiaan. Ya, benar, kebahagiaan.

Masalahnya bukan sekadar dia tidak suka bahagia. Jika Happy merasakan sedikit saja kebahagiaan, tubuhnya akan mulai bereaksi seperti balon pesta yang pecah terlalu dini. Dia akan bersin tanpa henti, kulitnya berubah menjadi belang-belang hijau seperti zebra yang gagal diwarnai, dan yang paling aneh, ia mulai berbicara dalam bahasa yang bahkan Google Translate pun menyerah menerjemahkannya.

Para ilmuwan yang memeriksa kondisi ini menyebutnya sebagai “Happytitis Kronis.” Mereka bahkan membuat jurnal medis khusus untuk mendokumentasikan kasus Happy, lengkap dengan foto-foto dirinya yang sedang bersin di depan kue ulang tahun atau saat mencoba menonton film komedi romantis.

Misi untuk Menjauhi Kebahagiaan

Untuk menghindari alerginya, Happy menciptakan sebuah aturan hidup yang ketat. Dia tidak menonton film komedi, tidak menghadiri pesta, dan bahkan, dalam langkah yang bisa dianggap sebagai revolusi pribadi, dia menghindari semua makanan yang mengandung cokelat. “Cokelat,” katanya, “adalah konspirasi utama kebahagiaan.”

Namun, di balik aturan-aturan ini, hidup Happy tidaklah mudah. Dia harus menghindari segala situasi yang berpotensi membuatnya tersenyum. Ini berarti dia bahkan memutuskan untuk bekerja sebagai petugas parkir di tempat yang selalu hujan. “Jika hujan terus,” pikirnya, “tidak ada yang akan bahagia, termasuk saya.”

Namun, seperti halnya tragedi besar dalam kehidupan, kebahagiaan datang dengan cara yang paling tidak terduga.

Kebahagiaan yang Tidak Sengaja

Suatu hari, Happy sedang menjalankan tugas rutinnya di parkiran yang suram. Lalu, datanglah seorang wanita muda bernama Mira, yang membawa seekor burung beo. Burung itu, dengan warna-warna cerah yang terlihat seperti pelangi yang baru saja dimuntahkan, memulai serangkaian komentar yang membuat Happy tidak siap.

“Hei, Tuan Parkir, kenapa wajahmu seperti awan mendung?” kata burung beo itu, diikuti oleh tawa cekikikan Mira.

Happy yang biasanya bisa mengabaikan komentar semacam itu, mendapati dirinya mulai tersenyum kecil. Tapi sebelum dia sempat menyadarinya, tubuhnya bereaksi. “HAAAH-TCHU!” Dia bersin begitu keras hingga topi parkirnya terlempar ke udara.

“Ups, alergi debu ya?” tanya Mira dengan polos, sambil menyerahkan kembali topinya.

“Tidak,” kata Happy dengan suara berat. “Aku alergi… kebahagiaan.”

Mira tertawa lagi. “Kau bercanda, kan?”

“Sayangnya, tidak,” jawab Happy, dengan nada yang entah kenapa mulai terdengar seperti seseorang yang baru saja kehilangan tempat parkir favoritnya.

Namun, Mira tidak menyerah. Dia mulai muncul setiap hari, membawa burung beonya yang suka mengomentari segala hal, dari mobil-mobil yang terparkir miring hingga cuaca yang membosankan. Dan tanpa sadar, Happy mulai merasa… bahagia. Hal ini, tentu saja, menjadi bencana medis.

Logika di Balik Alergi

Happy akhirnya memutuskan bahwa sudah waktunya untuk mencari solusi logis. Dia mengunjungi seorang dokter spesialis alergi yang sangat terkenal, Dr. Joyo. Dr. Joyo adalah seorang pria tua dengan janggut yang terlihat seperti sarang burung, dan reputasi sebagai seseorang yang bisa menyembuhkan apa saja, bahkan patah hati.

“Tuan Happy,” kata Dr. Joyo, sambil memeriksa laporan medis yang panjangnya seperti novel epik. “Masalahmu adalah kamu terlalu serius dengan hidupmu. Kebahagiaanmu adalah musuhmu karena kamu memperlakukannya seperti itu. Coba pikirkan ini: apa yang terjadi jika kau menerima kebahagiaan sebagai bagian dari dirimu, bukan sebagai ancaman?”

Happy, yang bukan penggemar logika filosofis, menjawab, “Jika saya menerima kebahagiaan, saya akan bersin sampai mati.”

Dr. Joyo kemudian memberikan solusi yang paling tidak masuk akal namun entah bagaimana terasa masuk akal. “Apa yang kau butuhkan adalah kebahagiaan dalam dosis kecil. Seperti vaksin. Kita akan memberimu kebahagiaan mikro.”

Operasi Kebahagiaan Mikro

Dr. Joyo memulai terapi kebahagiaan mikro dengan memberikan Happy video kucing yang gagal melompat ke meja, diikuti dengan klip bayi yang tertawa melihat gelembung sabun. Awalnya, reaksi alergi Happy sangat parah. Dia bersin hingga hampir menghancurkan ruang praktik dokter. Tapi perlahan, tubuhnya mulai beradaptasi.

Mira, yang mengetahui tentang terapi itu, mulai membantu. Dia membawa burung beonya untuk memberikan komentar yang lebih lucu tapi tidak terlalu mematikan. “Hei, Happy, tahu nggak apa bedanya kau dengan pohon beringin? Pohon beringin tidak alergi bahagia!” Burung itu tertawa lebih keras daripada leluconnya sendiri.

Dan entah bagaimana, terapi ini mulai berhasil. Happy mulai bisa merasa bahagia tanpa harus kehilangan kendali atas tubuhnya. Dia bahkan mulai tertawa pelan ketika melihat burung beo Mira mencoba meniru suara mobil.

Akhir yang Bahagia (Tapi Tidak Terlalu Bahagia)

Dengan terapi kebahagiaan mikro, Happy menyadari bahwa kebahagiaan tidak perlu datang dalam dosis besar. Sedikit kebahagiaan di sana-sini sudah cukup untuk membuat hidupnya lebih berwarna tanpa membuatnya menjadi zebra hijau lagi. Dia juga mulai menyukai Mira dan burung beo itu, meskipun ia tetap berhati-hati agar tidak terlalu bahagia.

“Jadi, bagaimana rasanya tidak alergi kebahagiaan lagi?” tanya Mira suatu hari.

“Seperti menemukan tempat parkir di depan pintu masuk mall,” jawab Happy. “Menyenangkan, tapi kau tahu itu tidak akan bertahan lama.”

Dan mereka pun tertawa bersama, meskipun Happy hanya tertawa kecil, untuk berjaga-jaga.


Prompt untuk DALL-E: A man in a gloomy parking lot wearing a parking attendant uniform, sneezing violently while a colorful parrot perched on a shoulder of a smiling young woman watches him with amusement, surrounded by rainy, gray weather.