Perjalanan Dimulai
Ekspedisi ke Pulau Komodo dipromosikan dengan slogan yang sangat tidak membantu: “Lebih dekat dengan Naga, tapi tanpa api!” Sebuah kalimat yang, meskipun lucu, memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tidak ada yang benar-benar yakin apakah itu berarti naga di sini tidak menyemburkan api atau apakah mereka hanya malas melakukannya. Di antara kerumunan peserta ekspedisi, berdiri seorang pria dengan raut wajah seperti roti tawar basi: Pak Surya, seorang guru sejarah SMP yang lebih sering terlihat mempelajari peta kuno daripada menghadapi binatang prasejarah hidup.
Pak Surya terpaksa ikut dalam perjalanan ini setelah kalah taruhan bermain ular tangga dengan rekan-rekannya. Mereka tahu, dengan tingkat keberanian Pak Surya yang setara dengan kucing yang takut hujan, perjalanan ini akan menjadi sumber hiburan yang tak ternilai. Pak Surya sendiri hanya punya satu permintaan sebelum berangkat: “Tolong jangan biarkan saya bertemu komodo.”
Permintaan itu, dalam konteks ekspedisi ke Pulau Komodo, setara dengan meminta agar tidak bertemu pasir di pantai.
Tiba di Pulau Komodo
Setibanya di Pulau Komodo, rombongan disambut oleh pemandu lokal yang terlalu optimis, Pak Rimba. Pak Rimba adalah tipe orang yang percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan senyuman dan, dalam situasi darurat, dengan sedikit semprotan gas anti-nyamuk. Dengan penuh semangat, ia memulai briefing keselamatan: “Jangan panik kalau lihat komodo ya, mereka cuma kadal besar. Tapi kalau mereka mulai lari ke arah Anda… ya, panik sedikit nggak apa-apa.”
Pak Surya sudah pucat seperti tisu basah sebelum briefing selesai. Saat rombongan mulai berjalan ke dalam hutan, ia mencoba menyelinap ke belakang, menghindar dari pak Rimba sambil mencari alasan untuk kembali ke kapal. Sayangnya, alasan terbaik yang bisa ia pikirkan adalah, “Saya lupa mematikan setrika di rumah,” yang langsung dibantah oleh temannya, Bu Tari, dengan, “Rumahmu kan pakai gas, bukan listrik.”
Pak Surya, tanpa pilihan lain, menyeret kakinya dengan berat hati, seperti orang yang dipaksa pergi ke seminar asuransi.
Sang Komodo Muncul
Hutan Pulau Komodo memiliki suasana yang aneh. Di satu sisi, Anda bisa mendengar kicauan burung dan gemerisik angin di dedaunan, yang memberikan kesan damai. Di sisi lain, Anda tahu ada makhluk sepanjang tiga meter dengan lidah bercabang yang mungkin sedang mengintai Anda dari balik semak-semak. Dan benar saja, sekitar lima belas menit perjalanan, seekor komodo muncul di tengah jalan.
“Ah, itu dia, komodonya!” seru Pak Rimba dengan nada yang jauh lebih ceria daripada yang seharusnya. “Lihat, dia sedang santai di situ. Jangan terlalu dekat, ya. Kalau dia jalan ke arah kita, jalan mundur perlahan.”
Pak Surya tidak mendengar bagian “jalan mundur perlahan.” Yang ia dengar hanyalah, “Komodo ada di sini,” yang langsung diterjemahkan otaknya menjadi, “Waktumu di dunia ini sudah habis.” Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah yang berlawanan, melewati rombongan dengan kecepatan yang tidak pernah ia tunjukkan selama pelajaran olahraga.
“Pak Surya, ke mana?!” teriak Bu Tari.
“Ada toilet?!” balas Pak Surya, meskipun tidak jelas apakah ia benar-benar membutuhkan toilet atau hanya mencari tempat untuk mengunci diri dari dunia luar.
Toilet yang Tak Memberi Perlindungan
Pak Surya akhirnya menemukan toilet di tengah hutan, sebuah bangunan kecil yang terlihat seperti hasil kerja seorang arsitek yang menyerah di tengah proyek. Pintu kayunya berderit, dan ada tanda “Dilarang Merokok” yang sudah pudar di atasnya. Tanpa berpikir panjang, Pak Surya masuk dan mengunci pintu. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi malah mendapati bahwa toilet itu memiliki aroma yang bisa membuat Anda mempertimbangkan kembali pilihan hidup Anda.
Di luar, rombongan mulai mencari Pak Surya. “Pak Rimba, tolong, dia itu jantungnya lemah,” kata Bu Tari. Pak Rimba, yang masih tersenyum (seolah-olah ini semua adalah bagian dari rencana), menjawab, “Tenang, komodo itu jarang menyerang manusia. Yang penting jangan ada bau darah atau makanan… atau bau takut.”
Bu Tari menatapnya dengan tajam. “Bau takut? Itu artinya Pak Surya sudah jadi target utama.”
Sementara itu, di dalam toilet, Pak Surya mulai mendengar suara langkah berat di luar. Ia membayangkan komodo itu mencium ketakutannya, seperti hiu mencium darah di air. “Tolong jangan buka pintunya,” bisiknya, meskipun tidak jelas kepada siapa ia berbicara. Ia mulai merencanakan strategi bertahan hidup yang melibatkan berdiri di atas kloset dan berpura-pura menjadi kipas angin.
Akhir yang Tak Terduga
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, pintu toilet diketuk. “Pak Surya, itu saya, Bu Tari. Tidak ada komodo di sini. Keluar, Pak.”
“Tapi tadi saya dengar langkahnya!”
“Itu suara saya jalan, Pak. Komodonya sudah pergi.”
Dengan ragu, Pak Surya membuka pintu dan menemukan bahwa memang tidak ada komodo di sekitar. Ia keluar dengan hati-hati, seperti siput yang mencoba menyeberang jalan raya. Saat ia bergabung kembali dengan rombongan, semua orang menatapnya dengan ekspresi campuran antara lega dan geli. Pak Rimba tertawa kecil. “Pak Surya, Anda tahu, komodo itu lebih takut pada manusia.”
Pak Surya menatapnya dengan serius. “Kalau begitu, lain kali saya akan bawa cermin. Biar dia tahu saya lebih takut darinya.”
Rombongan pun melanjutkan perjalanan, dengan Pak Surya tetap menjaga jarak aman dari garis depan, sambil sesekali melirik ke balik semak untuk memastikan tidak ada kadal raksasa yang menguntitnya. Ketika ekspedisi selesai, ia bersumpah tidak akan pernah ikut taruhan ular tangga lagi, bahkan jika hadiahnya adalah liburan gratis ke bulan.
Illustration: “A small, slightly run-down toilet in the middle of a lush jungle. A panicked middle-aged man peeks out the door, while a group of tourists and a cheerful guide stand outside, laughing. The atmosphere is whimsical and humorous, with tropical wildlife in the background.”