Tangisan yang Melejitkan Industri Parfum

Tangisan yang Melejitkan Industri Parfum

Bab 1: Penemuan yang Mengharukan (secara harfiah)

Dr. Alfrida Cantharella bukanlah tipe orang yang menyukai drama. Ia adalah ilmuwan kimia yang hidupnya lebih sering dihabiskan di laboratorium daripada di depan TV menyaksikan sinetron tangis-menangis. Namun, hal itu berubah total pada hari ia secara tidak sengaja menumpahkan secangkir kopi (tanpa gula, karena ia menganggap gula hanya untuk manusia yang belum dewasa secara emosional) ke dalam labu percobaan yang berisi cairan misterius.

Cairan tersebut adalah hasil eksperimen yang ia namai “Solusi 47-Z”, sebuah campuran rumit yang awalnya ia buat untuk menciptakan pengharum ruangan anti-depresi. Namun, alih-alih mengharumkan ruangan, cairan itu justru memiliki reaksi yang tidak terduga: cairan tersebut menyerap air di sekitarnya, termasuk setetes air mata yang secara kebetulan jatuh dari mata Alfrida ketika ia menyadari bahwa labu kesayangannya baru saja pecah karena insiden kopi tadi.

Yang terjadi selanjutnya bisa digambarkan dengan satu kata: ajaib. Atau, jika Anda menginginkan penjelasan yang lebih ilmiah, “polimerisasi hidro-elektro-sensitif dengan hasil aroma yang tidak terduga”. Dalam waktu kurang dari tiga detik, cairan itu berubah menjadi semacam parfum dengan aroma yang… luar biasa.

“Ini seperti bau nostalgia campur kenangan buruk, tapi entah kenapa aku suka,” gumam Alfrida, sambil terus mencium aroma itu dengan penuh rasa penasaran.

Bab 2: Air Mata = Euforia dalam Botol?

Alfrida memutuskan untuk menguji lebih lanjut fenomena ini. Ia mengajak rekan kerjanya, seorang ahli biologi bernama Gregorius “Greg” Malakova, yang terkenal karena dua hal: otaknya yang brilian dan kemampuannya menangis saat menonton iklan makanan kucing.

“Greg, aku butuh kamu menangis,” pinta Alfrida tanpa basa-basi.

Greg, yang sedang memegang sandwich tuna, menatapnya dengan bingung. “Menangis? Mengapa? Apakah ini tentang sandwich-ku? Karena aku nggak akan berbagi. Maafkan aku, tapi ini tuna terakhir di kantin.”

Alfrida menghela napas panjang. “Bukan. Aku butuh air mata untuk eksperimen. Aku janji ini penting.”

Lima menit kemudian, Greg duduk di depan layar komputer, menonton video seekor anak kucing yang kehilangan induknya, tetapi kemudian diadopsi oleh seekor anjing Golden Retriever. Tidak lama, air mata mulai mengalir deras.

Alfrida dengan cekatan mengumpulkan air mata Greg menggunakan pipet, mencampurkannya dengan Solusi 47-Z. Dan, seperti yang ia duga, formula itu kembali menghasilkan parfum dengan aroma yang tidak hanya memikat, tetapi juga menimbulkan perasaan bahagia mendalam bagi siapa pun yang menciumnya.

Greg mencium hasilnya dan langsung tertawa tanpa alasan. “Ini… ini seperti aroma optimisme dalam botol!” katanya, sambil terus tersenyum lebar.

Bab 3: Masalah Etis dan Air Mata Komersial

Penemuan ini segera menarik perhatian dunia. Dalam waktu singkat, laboratorium Alfrida dibanjiri permintaan dari berbagai perusahaan parfum terkenal, semuanya ingin mendapatkan hak eksklusif atas formula “Parfum Air Mata”.

Namun, datanglah masalah yang tidak terhindarkan: dari mana mereka akan mendapatkan pasokan air mata yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar global?

“Dengan asumsi satu manusia menangis rata-rata 50 liter air mata sepanjang hidupnya,” kata Greg, yang kini menjadi ahli statistik dadakan, “kita akan memerlukan populasi setidaknya satu juta orang yang menangis setiap hari untuk memenuhi permintaan pasar.”

Alfrida menatapnya tajam. “Aku yakin tak ada orang yang ingin menangis sepanjang hari hanya demi parfum.”

Ternyata, ia salah. Dalam waktu singkat, sebuah perusahaan startup bernama “CryingWorks” bermunculan, menawarkan pekerjaan kepada siapa saja yang bersedia menangis selama delapan jam sehari, lima hari seminggu. Mereka bahkan membangun “Pabrik Tangis”, di mana para pekerja duduk di ruangan gelap sambil menonton film-film tragis seperti The Notebook atau mendengarkan lagu-lagu patah hati.

Namun, masalah etis tetap muncul. Organisasi HAM segera memprotes, menyebut metode ini “eksploitasi emosional”. Alfrida, yang merasa bersalah atas kekacauan ini, memutuskan untuk menemukan solusi lain.

Bab 4: Sebuah Twist yang Harum

Setelah berminggu-minggu bereksperimen, Alfrida akhirnya menemukan sesuatu yang mengejutkan: ternyata, Solusi 47-Z tidak hanya bereaksi dengan air mata manusia, tetapi juga dengan air mata hewan. Ia mengetahuinya ketika seekor burung beo peliharaan Greg menangis karena tidak diberi biskuit favoritnya.

“Baunya seperti… hutan tropis setelah hujan,” kata Greg, mencium aroma baru yang dihasilkan.

Segera setelah itu, mereka menemukan bahwa air mata buatan (yang biasa digunakan dalam tetes mata) juga bisa digunakan untuk menciptakan parfum. Ini adalah terobosan besar yang akhirnya mengakhiri eksploitasi tangisan manusia.

Namun, yang paling mengejutkan adalah reaksi masyarakat terhadap parfum ini. Bukan hanya karena aromanya yang memikat, tetapi juga karena setiap botol parfum membawa cerita emosional di balik proses pembuatannya. Orang-orang mulai menggunakannya sebagai pengingat bahwa, di balik setiap tangisan, ada keindahan yang bisa ditemukan.

“Jadi, kita benar-benar menjual emosi dalam botol?” tanya Greg suatu hari.

Alfrida tersenyum. “Bisa dibilang begitu. Dan akhirnya, tangisan kita punya tujuan yang lebih baik daripada sekadar membuat mata bengkak.”

Epilog: Harum yang Abadi

Parfum Air Mata menjadi revolusi dalam industri wewangian, mengubah cara manusia memandang emosi mereka. Alfrida dan Greg terus bekerja sama, menciptakan berbagai varian parfum, termasuk “Tangisan Bahagia”, “Tangisan Patah Hati”, dan favorit Greg sendiri, “Tangisan karena Habis Nonton Film Pixar”.

Sementara itu, CryingWorks akhirnya beralih menjadi perusahaan produksi film tragis, memastikan bahwa dunia tidak akan pernah kehabisan sumber inspirasi untuk menangis — meskipun kini, tangisan itu tidak lagi diperlukan untuk membuat parfum.


Prompt Gambar: “A quirky laboratory setting where a scientist in a white coat holds a perfume bottle, while another person is crying into a collection jar. The atmosphere is humorous, with shelves full of labeled ‘tears’ and a parrot crying in the background.”