Pertemuan yang Membingungkan
Roy adalah tipe orang yang menganggap hidupnya cukup stabil, bahkan mungkin membosankan. Setiap pagi, rutinitasnya adalah berjalan menyusuri tebing, menghindari seagull yang tampaknya memiliki dendam pribadi terhadap rambutnya, dan mengamati ombak dengan binokular murahan yang dibelinya di toko suvenir. Namun, pagi itu berbeda. Pagi itu, di pantai di bawah tebing, ada seorang pria tua yang sedang menggambar di pasir. Tidak ada yang terlalu aneh dengan itu, kecuali bahwa gambar yang ia buat mulai terlihat seperti… sesuatu yang mungkin akan membuat museum-museum saling menyeruduk untuk memilikinya. Itu adalah wajah, tapi bukan wajah biasa. Wajah ini seperti sedang dilihat dari lima dimensi sekaligus.
Roy merasa ada sesuatu yang aneh. Ia mengangkat binokularnya lagi, lalu mengusap matanya, dan melihat lebih dekat. Pria itu adalah Picasso. Ya, Picasso. Masalahnya? Picasso seharusnya sudah meninggal sejak lama, kecuali kalau dia menemukan rahasia perjalanan waktu dan memutuskan untuk menghabiskan pensiun abadi di pantai ini.
Pikiran yang Hampir Meledak
Roy panik. Ia tak tahu apakah ia harus tertawa, menangis, atau berlari dan memeluk pria itu. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: air pasang akan datang, dan seni pasir tersebut akan lenyap dalam waktu kurang dari satu jam. Roy mulai berpikir keras. Ia tidak bisa membawa pasir itu pulang, karena selain membuatnya terlihat seperti orang aneh, juga tidak ada cara logis untuk melakukannya tanpa menyebabkan bencana logistik. Ia bisa lari pulang mengambil kamera, tetapi itu akan memakan waktu, dan siapa tahu apa yang akan terjadi pada Picasso dalam waktu lima belas menit? Mungkin dia akan menghilang ke dimensi lain, atau mungkin dia hanya akan selesai menggambar dan pergi membeli es krim, meninggalkan Roy dengan penyesalan seumur hidup.
“Bagaimana kalau aku mencoba melindungi gambar ini dari ombak?” pikir Roy. Tapi itu ide yang buruk, mengingat ia tidak membawa sekop, dan tubuhnya bukanlah penghalang yang cukup kuat untuk menahan kekuatan laut. Ia bahkan mempertimbangkan untuk mengambil papan tulis dan mencoba menggambar ulang karya tersebut, tapi ia segera menyadari bahwa bakat artistiknya hanya setingkat dengan anak berusia lima tahun yang menggambar lingkaran yang tidak bulat.
Kesimpulan yang Tak Terelakkan
Akhirnya, Roy mengambil keputusan yang mungkin paling rasional (atau paling absurd, tergantung bagaimana Anda melihatnya). Ia duduk di atas batu, mengeluarkan termos kopinya, dan memutuskan untuk menikmati momen ini. Ia menatap Picasso yang tampak santai, seperti orang yang tidak menyadari bahwa ia adalah anomaly temporal, dan ia memutuskan bahwa mungkin inilah keindahan seni yang sebenarnya. Seni itu tidak harus abadi, pikir Roy. Seni, seperti hidup, adalah tentang pengalaman saat ini. Dan Roy merasa bahwa ia adalah satu-satunya orang di dunia yang memiliki kesempatan untuk menikmati Picasso menggambar di pasir sambil menyeruput kopi murahan.
Ketika air pasang akhirnya datang dan menghapus karya itu, Roy hanya tersenyum. Ia merasa bahwa ia telah menyaksikan sesuatu yang lebih dari sekadar seni. Ia telah menyaksikan keajaiban. Dan keajaiban, seperti Picasso di pantai, tidak perlu bertahan selamanya untuk menjadi luar biasa.
Ilustration: “A man sitting on a rock with binoculars and a thermos, watching an elderly Picasso sketching a surrealistic face in the sand on a sunny beach, as the tide begins to creep in.”
Sumber: In a Season of Calm Weather (Ray Bradbury)