Profesor Meong dan Seminar Filsafat untuk Fauna

Profesor Meong dan Seminar Filsafat untuk Fauna

Sebuah Awal yang Tidak Sengaja

Profesor Meong, seekor kucing berbulu abu-abu dengan kumis yang hampir menyerupai Friedrich Nietzsche, sedang duduk di atas meja perpustakaan kampus. Dia tidak hanya seorang kucing biasa; dia adalah dosen filsafat pertama di Universitas Pawsville yang sepenuhnya dikhususkan untuk hewan. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana Profesor Meong mendapatkan gelar PhD-nya, tetapi rumor mengatakan bahwa ia secara tidak sengaja menyalakan audiobook berjudul “Das Kapital” saat mengejar seekor tikus di ruang baca, dan hidupnya berubah sejak hari itu.

Sebagai seorang filsuf kucing, Profesor Meong percaya bahwa hewan memiliki hak untuk memahami esensi eksistensi mereka. “Mengapa kita mengejar bola benang? Mengapa kita menggonggong pada tukang pos? Apakah ada makna lebih besar di balik tulang yang kita kubur di taman?” adalah beberapa pertanyaan yang sering ia lemparkan kepada audiensnya. Tapi tentu saja, karena audiensnya adalah hewan, sebagian besar hanya menatap kosong, mengunyah rumput, atau dalam kasus Arnold si kura-kura, tertidur di tengah kuliah.

Seminar Perdana: “Apakah Kita Bermakna, Atau Hanya Bermangkok?”

Di ruang kuliah yang terletak di gudang tua, Profesor Meong membuka seminar filsafat perdana dengan pertanyaan mendasar, “Apakah kita hidup untuk makan, atau makan untuk hidup?”

Ruangan itu diisi oleh berbagai hewan: seekor anjing Labrador bernama Bruno yang duduk di barisan depan dengan mata berbinar penuh antusias; seekor burung beo bernama Polly yang tampaknya hanya datang untuk meniru perkataan Profesor Meong; dan seekor sapi bernama Daisy yang sibuk mengunyah rumput tanpa henti. Ada juga seekor hamster bernama Gerald yang membawa notebook kecil, meskipun tak seorang pun yakin apakah dia benar-benar bisa menulis.

“Bruno,” kata Profesor Meong, mengarahkan pandangannya pada Labrador yang ekornya terus bergoyang. “Katakan kepadaku, mengapa kau begitu antusias saat diberi mangkuk penuh makanan?”

Bruno menggonggong sekali, lalu menjawab, “Karena itu enak, Profesor. Dan manusia selalu memberi saya makanan saat saya duduk manis.”

Profesor Meong mengangguk. “Jadi, kau mengejar kebahagiaan melalui rasa enak dan penghargaan manusia. Tetapi apakah itu kebahagiaan sejati, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh nafsu makanmu?”

Bruno menggaruk telinganya dengan bingung. Sementara itu, Polly berteriak, “NAFSU MAKAN, NAFSU MAKAN!” membuat semua hewan tertawa, kecuali Arnold si kura-kura, yang tampaknya masih terlelap.

Logika Seekor Sapi

Daisy, sapi itu, mengangkat ekornya sebagai tanda ingin bicara. “Profesor, saya punya pertanyaan. Jika manusia memelihara kami untuk susu, dan kami hidup untuk menghasilkan susu, apakah itu berarti makna hidup saya hanya sebatas menjadi sapi perah?”

Profesor Meong memandang Daisy dengan penuh rasa hormat. “Pertanyaan yang sangat bagus, Daisy. Tetapi mari kita lihat dari perspektif lain. Jika manusia hidup untuk bekerja, dan bekerja untuk uang, apakah itu berarti makna hidup mereka hanya sebatas angka dalam rekening bank?”

Daisy berhenti mengunyah. “Jadi… manusia juga sapi perah?”

“Sangat mungkin,” jawab Profesor Meong dengan serius. “Tetapi sapi perah dengan dasi.”

Ruangan itu hening sejenak, sebelum Polly kembali berteriak, “SAPI DENGAN DASI! SAPI DENGAN DASI!” Semua hewan tertawa lagi, kali ini termasuk Arnold yang tampaknya terbangun hanya untuk momen itu.

Logika Seekor Hamster

Gerald si hamster akhirnya memutuskan untuk mengajukan pertanyaannya. “Profesor, saya sering berlari di roda putar di kandang saya. Apakah itu bentuk kebebasan, atau hanya ilusi kebebasan?”

Profesor Meong tersenyum. “Gerald, kau baru saja menyentuh inti dari filsafat eksistensialisme. Apakah kau berlari karena ingin, atau karena merasa harus?”

“Saya tidak tahu,” jawab Gerald dengan suara kecil. “Kadang saya hanya merasa tidak ada hal lain yang bisa dilakukan.”

Profesor Meong mengangguk bijaksana. “Itulah dilema hidup, Gerald. Banyak dari kita berlari di roda kehidupan tanpa memahami mengapa. Tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah roda itu membuatmu bahagia?”

Gerald terdiam. “Hmm… Saya rasa iya. Saya suka berlari. Tapi saya juga suka biji bunga matahari.”

“Dan itulah jawabanmu,” kata Profesor Meong. “Kebebasan sejati bukanlah tentang melarikan diri dari roda, tetapi menemukan kebahagiaan di dalamnya.”

Sebuah Penutup yang Menggugah Pikiran

Kuliah berakhir dengan Bruno menggonggong setuju, Polly terus mengulang-ulang “KEBEBASAN DI DALAM RODA!”, dan Daisy tampak termenung dengan gagasan sapi perah berdasi. Arnold, yang entah bagaimana tertidur lagi, digendong keluar oleh Gerald.

Profesor Meong melompat turun dari meja dan duduk di sudut, mengamati murid-muridnya yang meninggalkan ruangan. Dia tahu bahwa tidak semua hewan akan memahami sepenuhnya apa yang dibahas hari ini, tetapi itu tidak masalah. Filsafat, pikirnya, bukanlah tentang menemukan jawaban, melainkan tentang terus bertanya.

Sebelum pergi, Daisy menghampiri Profesor Meong. “Profesor,” katanya, “Saya ingin berterima kasih. Saya mungkin masih sapi perah, tetapi setidaknya sekarang saya tahu bahwa manusia juga punya roda mereka sendiri.”

Profesor Meong tersenyum tipis. “Dan itulah awal dari kebijaksanaan, Daisy.”


Illustration: “A whimsical lecture hall filled with animals, including a cat professor with glasses teaching philosophy to a labrador, a parrot, a cow, a hamster, and a sleeping tortoise. The setting is rustic yet charming, with books and a chalkboard behind the cat.”