Sebuah Kesalahan Logistik yang Fatal
Pak Budi, guru geografi yang terkenal karena obsesinya dengan peta dunia yang dilaminasi dan terbiasanya menganalogikan setiap masalah muridnya dengan “fenomena tektonik”, sedang bersiap untuk ekspedisi impiannya. Dalam upaya untuk menghidupkan pelajaran sejarah iklim bumi, ia mengusulkan perjalanan lapangan ke Zaman Es. Ya, bukan replika Zaman Es di museum, tetapi Zaman Es yang asli.
Bagaimana caranya? Pak Budi, dengan kejeniusan yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang pernah secara tidak sengaja menciptakan magnet kulkas dari klip kertas, berhasil menemukan teknologi yang memungkinkan kelompok kecil manusia untuk menjelajah waktu. Teknologi itu ditemukan dalam penelitiannya tentang “anomalitas temporal yang tidak sengaja terdeteksi di ruang bawah tanah sekolah.”
Namun, dalam kegembiraannya yang meluap-luap untuk memimpin murid-muridnya ke masa di mana mammoth berbulu berkeliaran, ia melupakan satu hal yang sangat mendasar: membawa jaket. Faktanya, ia bahkan juga lupa memberitahu para murid untuk membawa pakaian hangat. Sebagai gantinya, ia hanya berkata, “Jangan lupa bawa penghapus. Nanti kita belajar tentang lapisan es yang hilang seperti menghapus papan tulis!”
Zaman Es dan Selimut Hotel yang Menyelamatkan
Perjalanan waktu berjalan mulus, setidaknya sampai mereka tiba di Zaman Es dan angin dingin yang menusuk langsung menyerang rombongan. Murid-murid Pak Budi, yang sebagian besar hanya membawa hoodie tipis bertuliskan “You Only Live Once” (ironis, mengingat mereka hampir membeku), memandangnya dengan tatapan penuh dendam.
Pak Budi mencoba meredakan situasi dengan berkata, “Nah, ini bagus! Kita bisa merasakan langsung bagaimana rasanya zaman Pleistosen! Bukankah ini pengalaman pendidikan yang tak ternilai?”
Namun, saat giginya mulai gemeretak seperti mesin ketik tua, ia menyadari bahwa pidatonya yang optimis tidak cukup untuk menghangatkan suasana. Dengan cepat, ia mengingat bahwa satu-satunya barang hangat yang ia bawa adalah selimut hotel yang ia masukkan ke dalam ransel secara impulsif. Tentu saja, selimut itu awalnya ia ambil karena “bunganya lucu dan bisa jadi bahan cerita lucu di kelas nanti.”
Ia membuka ranselnya, mengeluarkan selimut berwarna krem dengan pola bunga-bunga besar yang terlihat seperti hasil seni modern yang tidak dimengerti siapa pun, dan membungkus dirinya sendiri dengan gemetar. Sementara itu, murid-muridnya mulai menggali salju dengan tangan kosong, berharap menemukan sesuatu yang lebih hangat daripada hoodie mereka.
Solusi Kreatif yang Tidak Direncanakan
Di tengah kondisi yang semakin berbahaya, Pak Budi menunjukkan kemampuan inovasinya yang legendaris. Dengan selimut hotel yang sekarang ia nobatkan sebagai “penemuan abad ini,” ia mulai memotongnya menjadi beberapa bagian. Menggunakan pulpen sebagai alat potong dan gelas kopi plastik sebagai penggaris, ia membagi selimut menjadi beberapa syal ala kadarnya untuk murid-muridnya.
Namun, masalah baru muncul. Syal-syal ini sangat kecil sehingga hanya bisa melilit satu kali di leher, membuat murid-murid terlihat seperti model gagal dari peragaan busana bertema “minimalisme ekstrem.” Salah satu murid, Dina, dengan sinis bertanya, “Pak, ini syal atau tali sepatu?”
Pak Budi, yang tidak pernah membiarkan kritik menghentikannya, menjawab, “Ini adalah simbol adaptasi manusia. Bukankah kalian belajar tentang survival of the fittest? Nah, ini adalah versi modernnya!”
Kemunculan Solusi Tak Terduga
Saat semua orang sibuk mencoba menghangatkan diri, salah satu murid, Riko, secara tidak sengaja menemukan sebuah goa yang penuh dengan bulu mammoth. Bulu-bulu itu tampaknya tersisa dari mammoth yang mungkin malas membersihkan diri mereka. Dengan penuh semangat, Riko memanggil rombongan untuk masuk ke dalam goa tersebut. Mereka menggunakan bulu-bulu itu untuk membuat mantel darurat, yang meskipun tidak modis, cukup untuk menyelamatkan mereka dari hipotermia.
Pak Budi, yang sekarang merasa seperti pahlawan, berkata, “Lihat, ini adalah pelajaran lain: bagaimana manusia purba belajar memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka. Kita benar-benar hidup dalam sejarah!”
Namun, saat semua orang mulai merasa hangat dan nyaman, sebuah suara gemuruh terdengar dari dalam goa. Ternyata, seekor mammoth berbulu besar, yang tampaknya pemilik asli bulu-bulu itu, tidak terlalu senang melihat tamunya yang tidak diundang. Pak Budi, dengan selimut hotel terakhir yang masih utuh, melambai-lambai di depan mammoth seperti matador yang sangat amatir, berharap mengalihkan perhatian hewan itu.
Akhir yang Tidak Diduga
Di detik-detik terakhir, teknologi perjalanan waktu yang mereka gunakan tiba-tiba aktif kembali, mungkin karena suhu dingin yang membekukan mekanismenya akhirnya mencair setelah terkena napas hangat mammoth. Dengan satu kilatan cahaya, rombongan kembali ke ruang bawah tanah sekolah, lengkap dengan bulu-bulu mammoth yang sekarang berserakan di lantai.
Pak Budi, masih dibalut selimut hotel, berdiri dan berkata, “Nah, ini adalah perjalanan lapangan yang tidak akan pernah kalian lupakan! Dan ingat, pelajaran terbesar di sini adalah: selalu siapkan jaket. Atau selimut hotel, setidaknya.”
Sementara murid-muridnya hanya menatapnya dengan ekspresi campuran antara kagum dan trauma ringan, Pak Budi diam-diam menambahkan dalam catatan mentalnya untuk tidak pernah lagi lupa membawa jaket.
Prompt Gambar: “A humorous scene of a teacher wrapped in a floral hotel blanket, surrounded by students wearing makeshift mammoth fur coats, standing near an annoyed mammoth inside an icy cave with surreal details.”