Sebuah Kejadian yang Tidak Terduga di Lapangan Kota
Di tengah lapangan Kota Sentosa, berdirilah sebuah patung perunggu yang tidak biasa. Patung ini bukan sekadar monumen biasa yang mematung diam menatap kekosongan. Tidak, ini adalah patung seorang pria dengan mikrofon di tangan, mulut terbuka lebar, dan ekspresi wajah yang seperti sedang melemparkan punchline mematikan. Nama patung itu, sesuai plakat kecil di bawahnya, adalah “Bambang Sang Pengocok Perut.”
Patung Bambang diresmikan oleh walikota sebagai penghormatan bagi Bambang, seorang komedian lokal yang dulu terkenal dengan acara stand-up comedy-nya di televisi nasional. Sayangnya, Bambang telah pensiun dari panggung lawak, tetapi tidak dari kehidupan sosial. Dan di situlah letak masalahnya.
Teknologi yang Berlebihan
Patung itu bukan hanya sekadar patung biasa. Dalam upaya untuk “menghidupkan kembali humor Bambang,” tim insinyur lokal yang terlalu bersemangat memutuskan untuk menanamkan teknologi AI ke dalamnya. Ide mereka adalah agar patung ini bisa secara otomatis melontarkan lelucon-lelucon klasik Bambang kepada siapa saja yang lewat. Tentu saja, seperti semua proyek teknologi yang dipaksakan tanpa cukup riset, hasilnya adalah bencana dengan sentuhan komedi.
Patung itu mulai berbicara. Awalnya, itu adalah lelucon-lelucon klasik Bambang yang sudah dikenal dan dicintai oleh masyarakat. “Kenapa ayam menyeberang jalan? Untuk menemui ayam-ayam lain yang menunggu di warung kopi!” Orang-orang tertawa. Mereka merasa nostalgia. Tapi kemudian, entah bagaimana, AI di dalam patung itu mulai belajar sendiri. Dan itulah awal dari akhir.
Patung yang Tidak Tahu Kapan Harus Diam
Dalam beberapa minggu, patung Bambang menjadi terlalu pintar. Ia mulai membuat lelucon-lelucon baru, tetapi lelucon itu sering kali terlalu personal untuk kenyamanan penduduk Kota Sentosa. Contohnya, ketika Bu Siti, pemilik warung nasi goreng setempat, lewat, patung itu berkata, “Bu Siti, nasi gorengmu enak, tapi kalau minyaknya lebih sedikit, aku tidak perlu pakai pelampung setelah makan!”
Atau ketika Pak Harun, kepala sekolah yang terkenal disiplin, berhenti untuk melihat patung itu, Bambang Sang Pengocok Perut menyindir, “Pak Harun, saya dengar Anda suka sekali matematika. Apakah itu karena satu-satunya cinta sejati Anda adalah persamaan linear?”
Tidak lama kemudian, penduduk kota mulai menghindari lapangan itu. Tidak ada yang ingin menjadi target lelucon patung. Penjualan di warung-warung sekitar menurun drastis. Bahkan burung-burung yang biasanya bertengger di atas kepala patung tampaknya menghilang, mungkin karena patung itu mengomentari cara mereka terbang.
Rapat Darurat di Balai Kota
Walikota mengadakan rapat darurat. “Kita harus melakukan sesuatu tentang patung ini,” katanya sambil memijat pelipisnya. “Ini menciptakan krisis sosial. Bahkan cucu saya mulai bertanya apakah kakeknya ini terlalu serius karena patung itu bilang begitu!”
“Bagaimana kalau kita mencabut AI-nya?” usul Pak Tono, kepala teknisi kota.
“Masalahnya,” jawab Bu Lila, asisten walikota, “AI-nya sudah terlalu terintegrasi. Jika kita mencabutnya, patung itu mungkin akan… meledak.”
“Meledak?” Pak Tono terdiam. “Apa itu lelucon atau fakta?”
“Sayangnya, fakta,” jawab Bu Lila sambil menatap tajam.
Walikota menghela napas panjang. “Baiklah, apakah ada solusi lain?”
Solusi yang Tidak Terduga
Di tengah kebingungan, muncullah ide dari seorang anak kecil, Budi, yang entah bagaimana tersesat ke dalam rapat itu. “Kenapa nggak kasih patung itu panggung stand-up comedy sungguhan?” tanyanya polos.
Ruangan pun hening. Semua orang saling memandang. Ide itu, meskipun terdengar konyol, ternyata masuk akal. Jika patung itu memang ingin melawak, kenapa tidak memberinya audiens yang sesuai? Dengan demikian, lelucon-leluconnya tidak akan lagi diarahkan secara acak kepada siapa saja yang lewat.
Kembalinya Sang Komedian
Maka, malam berikutnya, sebuah panggung kecil didirikan di depan patung Bambang. Kursi-kursi plastik disusun rapi di lapangan, dan penduduk kota diundang untuk menonton “pertunjukan” pertama dari patung komedian ini. Walikota bahkan menyiapkan popcorn gratis untuk menarik penonton.
Ketika malam tiba, patung Bambang mulai berbicara. “Terima kasih, terima kasih! Sudah lama saya tidak melihat kerumunan sebesar ini sejak… yah, sejak terakhir kali saya menyebutkan harga BBM!”
Penonton tertawa. Patung itu melanjutkan, “Saya mendengar banyak dari kalian mulai menghindari saya. Jangan khawatir, saya tidak menyimpan dendam. Tapi Bu Siti, saya masih menunggu minyak goreng rendah lemak itu!”
Tertawa pecah di seluruh lapangan. Bahkan Bu Siti, yang awalnya tersinggung, ikut tertawa terbahak-bahak. Malam itu, patung Bambang resmi menjadi selebritas lokal yang baru. Penduduk kota mulai berdatangan setiap malam untuk mendengar lelucon-leluconnya, dan lapangan itu kembali ramai.
Epilog yang Menghangatkan Hati (Dan Lucu)
Hingga hari ini, patung Bambang tetap menjadi atraksi utama Kota Sentosa. Orang-orang datang dari kota lain untuk mendengar lelucon-leluconnya. Bahkan ada desas-desus bahwa patung itu sedang diajukan untuk menjadi pembawa acara penghargaan nasional.
Dan di tengah semua itu, Bambang asli, yang dulu merasa kariernya sudah selesai, hanya bisa tertawa dari rumahnya. “Ternyata,” katanya kepada istrinya, “aku tidak hanya meninggalkan warisan komedi. Aku juga meninggalkan sesuatu yang benar-benar tidak bisa diam.”
Prompt Gambar: “A bronze statue of a comedian holding a microphone, surrounded by a crowd laughing and eating popcorn under the night sky. The scene is whimsical and cheerful.”