Kursus Kilat yang Mengguncang Dunia (Zaman Batu)
Di sebuah gua yang diterangi oleh obor yang tampaknya lebih sering digunakan untuk menakut-nakuti kelelawar daripada menerangi ruangan, berkumpullah sekelompok manusia purba yang terlihat sangat antusias. Antusias ini, tentu saja, terjemahan bebas dari fakta bahwa mereka sedang bingung mengapa mereka ada di sana. Mereka duduk di atas batu-batu besar berbentuk yang tidak nyaman—konon, sengaja dibuat seperti itu agar mereka tetap fokus—dan menatap seorang pria bernama Grobnar. Grobnar adalah orang yang, dalam istilah modern, bisa diibaratkan sebagai kombinasi antara motivator, dosen marketing, dan pedagang minyak ular.
Grobnar memulai kursusnya dengan sebuah pertanyaan yang retoris tapi penuh keyakinan: “Apakah kalian ingin lebih dari sekadar berburu dan makan daging mentah?” Sebuah pertanyaan yang, pada intinya, membuat semua orang semakin bingung karena mereka tidak tahu ada opsi lain.
“Tentu saja, kalian ingin lebih!” lanjut Grobnar. “Kalian ingin pengaruh. Kalian ingin pengakuan. Kalian ingin menjadi yang paling dicatat dalam ukiran gua-gua masa depan!”
Salah satu peserta, yang bernama Thug, mengangkat tangan. “Tapi saya sudah terkenal. Semua orang di sini tahu bahwa saya yang pertama kali menemukan cara mengasah batu hingga tajam.”
“Benar, Thug,” jawab Grobnar, dengan nada seorang guru yang menghadapi murid yang terlalu cepat puas. “Tapi apakah mereka tahu bahwa kamu juga satu-satunya yang kehilangan jari karena penemuan itu?”
Kelas tertawa. Thug merengut. Grobnar melanjutkan presentasinya dengan menggambar sebuah lingkaran besar di dinding gua menggunakan arang. “Ini adalah lingkaran pengaruhmu saat ini,” katanya. “Kecil. Terbatas pada kampungmu sendiri. Namun, jika kamu mengikuti kursus ini, lingkaran ini akan membesar hingga mencakup seluruh lembah. Bahkan mungkin sampai ke sisi lain gunung!”
Modul 1: Personal Branding (Atau Apa yang Membuatmu Menarik?)
Grobnar menjelaskan bahwa langkah pertama menjadi influencer adalah menciptakan identitas unik. “Ambil contoh saya,” katanya. “Saya adalah Grobnar si Bijak. Mengapa bijak? Karena saya mengatakan saya bijak. Dan saya memakai jubah dari kulit singa, sementara kalian semua hanya memakai kulit rusa. Itu membuat saya terlihat… lebih bijak.”
Seorang wanita bernama Grakka, yang terkenal dengan keterampilannya membuat tembikar, angkat bicara. “Tapi saya hanya membuat pot. Apa yang menarik dari itu?”
“Ah, Grakka,” kata Grobnar, sambil menunjuknya dengan tongkat kayu yang tampaknya lebih sering digunakan untuk menunjuk makanan daripada mengajar. “Kamu harus menjual cerita, bukan pot. Katakan bahwa potmu adalah pot pertama yang bisa menampung air selama seminggu penuh tanpa bocor. Tambahkan sedikit drama, seperti, ‘Saya hampir dimakan harimau ketika mencari tanah liat terbaik.’ Semua orang suka cerita dengan harimau.”
Grakka tampaknya terkesan. Thug, di sisi lain, tampak semakin skeptis. “Tapi bagaimana jika saya tidak punya cerita drama? Saya hanya suka asah batu.”
Grobnar menghela napas. “Maka buatlah sesuatu yang mengesankan. Katakan bahwa kamu sedang mengembangkan pisau yang bisa memotong… air. Tidak ada yang tahu apakah itu mungkin atau tidak, tapi mereka akan penasaran!”
Modul 2: Konten Adalah Raja
“Sekarang,” lanjut Grobnar, “kalian perlu sesuatu untuk menarik perhatian orang. Tidak cukup hanya berdiri di tengah desa dan teriak-teriak. Itu hanya membuat kalian terlihat seperti… ya, seperti orang yang berdiri di tengah desa dan teriak-teriak.”
Dia kemudian mengeluarkan sebuah batu besar dengan ukiran kasar di atasnya. “Inilah ukiran pertama saya. Saya menamai ini ‘Kisah Grobnar dan Singa yang Marah.’ Ini adalah karya seni sekaligus alat promosi. Setiap kali orang melihat ukiran ini, mereka akan tahu bahwa saya adalah pria yang tidak hanya bijak, tetapi juga sangat berani.”
“Bukannya singa itu sudah tua dan hampir mati?” sela Thug.
Grobnar mengabaikannya. “Intinya adalah, kalian harus memberikan sesuatu yang bisa dikenang. Jika kalian membuat tembikar, ukirlah nama kalian di bawahnya. Jika kalian membuat pisau, beri tanda khusus. Jika kalian menemukan api… yah, bagus untuk kalian.”
Modul 3: Kolaborasi dan Jejaring (Jangan Sendiri, Itu Membosankan)
Grobnar kemudian menekankan pentingnya bekerja sama dengan orang lain. “Lihatlah saya dan Zorba si Pemukul Drum. Ketika saya memberi kuliah, Zorba memainkan drum di belakang saya untuk menciptakan suasana. Itu membuat saya terlihat lebih penting.”
Zorba, yang sedang duduk di pojok sambil memukul-mukul drum kecil, melambai dengan bangga. “Orang-orang selalu ingat Grobnar karena saya ada di sana,” katanya.
“Tepat sekali,” kata Grobnar. “Jadi, jika kalian ingin menjadi influencer, temukan orang-orang yang bisa mendukung kalian. Jika kalian membuat tembikar, bekerjasamalah dengan Thug untuk membuat pisau yang bisa digunakan untuk memotong tanah liat. Atau jika kalian menemukan api, bekerjasamalah dengan Zorba untuk membuat pesta api unggun pertama di lembah ini.”
Modul 4: Monetisasi Pengaruh
Modul terakhir adalah yang paling dinanti. “Sekarang,” kata Grobnar, “kalian pasti bertanya-tanya, bagaimana semua ini membuat kalian kaya? Mudah. Kalian menjual produk. Jika kalian terkenal karena membuat tembikar, jual tembikar kalian lebih mahal. Jika kalian terkenal karena membuat pisau, buat pisau yang lebih mahal. Jika kalian terkenal karena menemukan api… yah, jangan jual apinya, tapi buat orang membayar untuk menonton kalian bermain dengan api.”
Penutup
Ketika kursus selesai, para peserta tampak penuh semangat. Grakka mulai memikirkan cara menambahkan ukiran harimau pada potnya. Thug mulai merancang pisau yang katanya bisa memotong udara (meskipun dia tidak yakin apa artinya itu). Dan Zorba, tentu saja, memutuskan untuk tetap memainkan drum karena entah bagaimana dia selalu berhasil menjadi bagian dari semua ini.
Grobnar tersenyum puas. Dia tahu bahwa dia baru saja menciptakan generasi pertama influencer zaman purba. Dan siapa tahu? Mungkin suatu hari nanti, orang-orang akan mengenang namanya dalam ukiran batu sebagai “Grobnar, Bapak Influencer.”
Prompt Gambar: “A prehistoric classroom inside a cave with a charismatic caveman wearing a lion-skin robe teaching other cavemen and cavewomen about branding. The walls are filled with crude yet humorous carvings, while one student holds a lopsided pot and another sharpens a stone knife with a puzzled expression.”