Kompetisi Menunda Deadline yang Memusingkan Panitia

Kompetisi Menunda Deadline yang Memusingkan Panitia

Bab 1: Pertemuan Awal yang Tidak Menentukan Apa-apa

Di sebuah kota kecil bernama Tunda Jaya, warganya memiliki hobi yang unik: menunda segala sesuatu. Dari sekadar mencuci piring hingga membayar pajak, setiap aktivitas selalu dilakukan dengan semangat molor yang luar biasa. Bahkan, ada rumor bahwa pembangunan gedung balai kota yang sekarang berusia 150 tahun itu baru selesai minggu lalu.

Tapi hari itu berbeda. Di aula balai kota yang baru selesai itu (dan masih berbau cat), sekelompok warga berkumpul untuk acara yang lebih monumental daripada lomba makan keripik singkong tahunan: Kompetisi Menunda Deadline sampai Lupa Tujuan Awal.

“Kita akan membuat sejarah!” seru Pak Guntur, kepala panitia lomba, yang terlihat sudah sedikit menyesal dengan keputusannya untuk menjadi sukarelawan panitia. “Aturan kompetisi ini sederhana: kalian semua punya satu proyek, dan siapa pun yang paling sukses membuat kami, para panitia, frustasi dengan menunda-nunda tanpa menyelesaikan proyeknya, akan jadi pemenang. Tapi ingat, kalian tetap harus terlihat seperti berusaha menyelesaikannya!”

“Apakah ada batas waktu untuk kompetisi ini?” tanya Bu Mira, yang terkenal sebagai juara menunda pembayaran iuran RT selama lima tahun berturut-turut.

“Yah, tentu saja ada,” jawab Pak Guntur sambil berkeringat. “Tapi kami belum memutuskan kapan. Jadi… anggap saja fleksibel. Itu bagian dari tantangannya!”

Ruangan itu dipenuhi dengan gumaman antusias. Tidak ada yang benar-benar paham bagaimana lomba ini akan berjalan, tapi semua setuju bahwa ini adalah ide terbaik yang pernah mereka dengar sejak pembukaan warung kopi 24 jam di ujung jalan.


Bab 2: Proyek-Proyek yang Semakin Aneh

Hari pertama kompetisi dimulai dengan penuh semangat. Para peserta diberi kebebasan untuk memilih proyek mereka sendiri, dan hasilnya luar biasa… membingungkan.

Pak Joko, seorang pensiunan guru, memutuskan untuk menulis buku otobiografi tentang hidupnya. Judulnya? “Perjalanan Hidup yang Belum Selesai”.

“Saya pikir ini cocok,” katanya sambil membuka laptop yang baterainya selalu 5% karena dia “belum sempat” membeli charger baru.

Sementara itu, Bu Riri, seorang ibu rumah tangga, memilih proyek yang sangat ambisius: membuat koleksi rajutan untuk seluruh warga desa. Masalahnya, dia menghabiskan tiga hari pertama hanya untuk memilih benang.

Lalu ada Budi, seorang mahasiswa yang terkenal karena kebiasaannya menghilang di tengah diskusi kelompok. Proyeknya adalah membangun mesin pembuat keputusan otomatis, yang ironisnya memerlukan keputusan pertama: mau mulai dari mana.

“Mesin ini akan menyelesaikan segalanya untuk saya,” katanya sambil menatap papan tulis kosong dengan serius. “Tapi pertama-tama, saya perlu menentukan algoritmanya. Atau mungkin desainnya? Atau… mungkin saya butuh kopi dulu.”


Bab 3: Panitia yang Mulai Kehilangan Harapan

Setelah beberapa minggu, panitia mulai menyadari bahwa mereka mungkin telah membuat kesalahan besar. Bukan karena para peserta gagal menyelesaikan proyek mereka (itu sudah jelas sejak awal), tetapi karena mereka terlalu berbakat dalam menciptakan alasan dan hambatan.

“Saya pikir ini hanya akan memakan waktu beberapa minggu,” keluh Pak Guntur sambil memeriksa daftar peserta yang semakin panjang. “Tapi sekarang saya bahkan tidak tahu proyek apa yang sedang mereka kerjakan!”

Misalnya, Pak Joko baru saja mengumumkan bahwa dia memutuskan untuk menulis buku puisi tentang perjuangannya menulis otobiografi, sementara Bu Riri sibuk mencari pola rajutan yang “benar-benar mencerminkan semangat komunitas”. Budi? Dia sekarang sedang merancang aplikasi untuk membantu mesin pembuat keputusannya membuat keputusan.

“Ini seperti lingkaran setan,” kata Bu Wati, salah satu panitia, sambil menatap tumpukan dokumen yang tidak pernah diisi oleh peserta. “Mereka bahkan membuat saya lupa kenapa lomba ini ada!”


Bab 4: Pengumuman Pemenang yang Tidak Pernah Terjadi

Enam bulan kemudian, kompetisi ini telah berubah menjadi legenda lokal. Tidak ada yang tahu siapa yang sebenarnya memimpin, karena tidak ada satu pun proyek yang selesai. Bahkan panitia mulai menunda pekerjaan mereka sendiri. Pak Guntur sekarang menghabiskan sebagian besar waktunya bermain sudoku, sedangkan Bu Wati mulai belajar melukis untuk “mengisi waktu”.

Pada akhirnya, seluruh desa sepakat untuk membubarkan kompetisi tersebut. Tapi mereka melakukannya dengan cara yang sangat khas Tunda Jaya: mereka hanya berhenti membicarakannya, sampai akhirnya semua orang lupa bahwa kompetisi itu pernah ada.

Ketika ditanya tentang pelajaran apa yang bisa diambil dari pengalaman ini, Pak Guntur hanya mengangkat bahu. “Yah, setidaknya kita semua belajar sesuatu tentang pentingnya manajemen waktu,” katanya, lalu menambahkan, “Tapi saya rasa kita bisa membahas hal itu nanti. Sekarang saya perlu istirahat.”


Prompt Gambar: “A humorous scene in a town hall where people are pretending to work on absurd projects like knitting giant socks, writing books on blank pages, and drawing confusing flowcharts. In the background, a panicked organizer is surrounded by piles of unsubmitted forms.”