Kompetisi Baju Astronot Etnik yang Berakhir di Meja Nasi Liwet

Kompetisi Baju Astronot Etnik yang Berakhir di Meja Nasi Liwet

Babak Awal: Ide Gila yang Terlalu Serius

Di suatu ruang rapat kecil di Gedung Pusat Penelitian dan Penerapan Teknologi Luar Angkasa (disingkat PPPTLA, yang tak pernah dilafalkan dengan benar), Pak Didi, kepala divisi inovasi, berdiri dengan ekspresi serius yang, untuk pertama kalinya dalam sejarah, tidak diimbangi oleh dasi bergambar bebek yang biasa ia pakai. Di hadapannya, lima orang anggota timnya, termasuk Bu Santi si ahli tekstil, Mas Bima si desainer, dan Sukri si teknisi yang lebih sering terlihat berkutat dengan mie instan dibandingkan dengan teknologi.

“Tim,” kata Pak Didi sambil mengetuk meja dengan jari telunjuk, “kita punya misi baru dari pemerintah. Kita harus menggelar kompetisi desain baju astronot dengan tema… etnik.”

Hening. Hanya ada bunyi pelan seseorang mengaduk kopi sachet di belakang ruangan.

“Pak,” kata Sukri sambil mengangkat tangan dengan hati-hati, “saya nggak ngerti. Apa hubungannya astronot dengan batik parang atau songket Palembang?”

Pak Didi menghela napas panjang, seperti seseorang yang baru saja diberitahu bahwa seluruh dunia telah kehabisan stok gulai kambing.

“Hubungannya adalah… kebanggaan nasional,” katanya. “Bayangkan, astronot kita berjalan di permukaan Mars dengan baju yang mencerminkan budaya Indonesia. Itu adalah pernyataan besar bahwa teknologi tinggi bisa berpadu dengan tradisi kita.”

Mas Bima mengangkat tangan. “Tapi, Pak, kalau kita pakai kain tenun asli di Mars, itu kan dingin banget. Astronotnya bisa kedinginan dan… beku?”

“Astaga, Bima,” kata Pak Didi, “Itu kan tugas kalian untuk memadukan estetika dengan teknologi. Jangan terlalu literal!”

Babak Kompetisi: Dari Batik Anti-Api hingga Motif Nasi Tumpeng

Kompetisi diumumkan ke seluruh negeri, dan ternyata, responsnya luar biasa. Dari Sabang hingga Merauke, desainer, seniman, dan bahkan ibu-ibu pengajian mengirimkan ide mereka. Tapi seperti semua hal besar di dunia, bukan berarti semuanya bagus.

Ada desain yang mengusulkan baju astronot dengan motif batik mega mendung yang bisa berubah warna sesuai tekanan atmosfer. Masalahnya, perubahan warna itu ternyata membuat astronot terlihat seperti lampu disko berjalan, yang oleh NASA dinyatakan “terlalu mencolok untuk eksplorasi rahasia.”

Desain lain adalah baju dengan motif nasi tumpeng, lengkap dengan tekstur 3D berupa ayam goreng dan tempe orek. Sukri, yang ditugaskan mencoba prototipe ini, mengeluh bahwa ia dikejar-kejar kucing liar saat tes di lingkungan simulasi.

Namun, di antara kekacauan tersebut, muncullah satu desain yang dianggap memiliki potensi besar. Desain itu dibuat oleh seorang seniman dari Yogyakarta bernama Mbak Sri, yang menggabungkan motif batik kawung dengan teknologi serat karbon. Motif kawung tersebut juga dilapisi material reflektif yang bisa menyerap panas matahari di luar angkasa. Semuanya terlihat sangat menjanjikan, hingga Sukri menemukan bahwa bahan reflektif itu membuat astronot terlihat seperti cermin raksasa, yang menyebabkan satu insiden memalukan di mana seekor burung merpati menyerang prototipe karena mengira itu adalah lawannya.

Babak Final: Keputusan yang Tidak Disangka-sangka

Hari penjurian akhirnya tiba, dengan dewan juri terdiri dari Pak Didi, seorang pakar budaya, seorang astronot senior, dan entah kenapa, seorang food vlogger terkenal yang kebetulan sedang mencari konten baru. Desain-desain final dipajang di aula besar PPPTLA, dan suasana semakin memanas.

Mbak Sri hadir mengenakan kebaya elegan dan wajah penuh harap. Di sebelahnya, ada seorang peserta lain bernama Pak Ujang yang mengusulkan desain dengan motif daun pisang yang katanya “menenangkan jiwa astronot.” Sementara itu, Sukri berdiri di pojok, terlihat sibuk menggulung kabel, meskipun tidak ada kabel di dekatnya.

Juri memulai diskusi mereka. Pakar budaya memuji keindahan motif kawung Mbak Sri, tapi astronot senior menyatakan kekhawatiran bahwa cermin raksasa di luar angkasa mungkin akan memancing alien (meskipun alien belum terbukti ada). Food vlogger, sementara itu, terus mengoceh tentang bagaimana motif nasi tumpeng seharusnya menjadi simbol kuliner Indonesia yang mendunia.

Pada akhirnya, setelah diskusi panjang yang melibatkan diagram, simulasi, dan sepiring besar nasi liwet, dewan juri akhirnya sepakat: tidak ada satu desain pun yang sempurna.

“Jadi apa yang kita lakukan sekarang, Pak?” tanya Sukri dengan nada setengah panik.

Pak Didi tersenyum, menunjukkan bahwa ia telah memikirkan solusinya sejak awal. “Kita gabungkan semuanya.”

Epilog: Astronot Etnik Pertama di Dunia

Desain final yang dikirimkan ke NASA adalah kombinasi dari semua elemen terbaik: motif kawung Mbak Sri dipadukan dengan teknologi anti-beku, aksen daun pisang dari Pak Ujang ditambahkan sebagai simbol ekologis, dan, entah bagaimana, motif nasi tumpeng tetap dimasukkan sebagai detail kecil di bagian helm. Bahkan, Sukri berhasil menyisipkan teknologi pelacak kucing untuk memastikan tidak ada lagi insiden seperti sebelumnya.

Ketika astronot Indonesia pertama kali melangkah ke permukaan Mars dengan baju ini, dunia menyaksikan dengan kagum. Sementara itu, di ruang kontrol PPPTLA, Sukri bergumam, “Yah, setidaknya mereka nggak memasukkan motif rendang. Itu pasti jadi bencana.”


Prompt untuk DALL-E: “A futuristic astronaut suit with ethnic Indonesian motifs such as batik kawung and traditional patterns, designed with eco-friendly materials like banana leaves, standing proudly on the surface of Mars under a red sky.”