Pendahuluan: Selamat Datang di Klinik Kebingungan
Di sudut kota yang tidak pernah benar-benar selesai dibangun, berdirilah Klinik Terapi Kecanduan ‘Nanti Saja’. Papan namanya sudah hampir copot, menggantung dengan satu baut, karena, tentu saja, tukang yang memasangnya belum selesai pekerjaannya sejak tiga tahun lalu. Klinik ini didirikan khusus untuk orang-orang yang memiliki kebiasaan menunda-nunda segala sesuatu. Ironisnya, peresmian klinik ini molor selama lima tahun karena, ya, Anda tahu sendiri.
Namun, begitu masuk ke dalam bangunan itu, Anda akan disambut oleh seorang resepsionis bernama Bu Santi, yang terkenal sebagai satu-satunya orang yang mampu mengingatkan pasien mereka untuk tidak terlambat… meskipun pesannya sendiri sering ia kirimkan dua hari setelah janji temu seharusnya berlangsung.
Di ruang tunggu, dindingnya dihiasi dengan poster-poster motivasi seperti “Jangan Tunggu Besok, Mulailah Hari Ini!”—yang semuanya tampaknya sudah mulai kusam dan menggulung di sudut. Mereka menunggu diperbarui, tetapi itu, tentu saja, adalah tugas untuk “nanti saja.”
Para Pasien: Penunda Ulung Sejati
Pasien utama klinik ini berkisar dari tipe-tipe yang menggemaskan hingga yang benar-benar absurd. Ada Pak Jono, yang telah menunda untuk memperbaiki atap rumahnya hingga hujan terakhir membuat ruang tamunya berubah fungsi menjadi kolam renang dadakan. Lalu ada Mbak Rina, yang sudah berencana untuk menulis novel sejak 1998, tetapi belum melewati kalimat pertama karena ia terus mencari “kata pembuka yang sempurna.”
Tapi bintang utama klinik ini adalah seorang pria bernama Agus. Agus adalah legenda. Dia pernah menunda mengisi formulir perpanjangan SIM selama tujuh tahun penuh, sampai akhirnya ia memutuskan lebih baik menunggu teknologi mobil tanpa sopir menjadi mainstream. Ketika ditanya mengapa ia datang ke Klinik ‘Nanti Saja,’ Agus menjawab dengan penuh percaya diri, “Saya datang ke sini bukan karena saya punya masalah menunda-nunda. Saya hanya… memprioritaskan hal-hal dengan cara yang sangat spesial.”
Terapi Revolusioner: Jadwal yang Selalu Molor
Di sini, terapi bukanlah terapi biasa. Salah satu metode utama klinik ini adalah “Jadwal Pasti yang Selalu Molor.” Setiap pasien diberi jadwal yang sangat ketat, lengkap dengan jam dan menit, untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah mereka tunda selama ini. Misalnya, jika Pak Jono dijadwalkan memperbaiki atap pada pukul 10.00 pagi, maka seorang terapis dari klinik akan tiba di rumahnya pukul 9.59 untuk memastikan ia benar-benar mulai.
Namun, seperti yang bisa Anda duga, si terapis biasanya datang pukul 14.00 karena lupa mengisi bensin di jalan. Ketika pasien akhirnya siap, alat-alat untuk tugas itu sering kali baru dikirim keesokan harinya karena kesalahan dalam sistem pengiriman. Dengan cara ini, pasien dipaksa untuk menghadapi absurditas dari kebiasaan mereka sendiri, sambil terus-menerus diingatkan bahwa ini semua adalah cerminan dari hidup mereka.
“Ini bukan terapi,” kata Bu Santi suatu hari, sambil menyeruput teh yang sudah dingin karena ia lupa meminumnya tepat waktu, “Ini adalah seni. Seni membuat orang sadar bahwa menunda-nunda adalah lingkaran setan yang lucu.”
Fasilitas Klinik: Mesin Pengingat yang Tidak Pernah Tepat Waktu
Klinik ini juga memiliki teknologi canggih yang dirancang untuk membantu pasien mereka. Salah satunya adalah Mesin Pengingat Otomatis 3000, yang dirancang untuk memperingatkan pasien tentang tugas mereka dengan alarm keras dan pesan motivasi. Masalahnya, mesin itu sendiri sering lupa mengirimkan alarmnya.
Pernah suatu kali, Mesin Pengingat Otomatis 3000 mengirimkan pesan kepada Mbak Rina untuk “Mulai Menulis Novel Sekarang!” pada pukul 2 pagi. Keesokan harinya, Mbak Rina datang ke klinik dengan wajah masam, “Kalau mesin itu begitu semangat, kenapa dia tidak menulis novel saya sekalian?”
Ketika insinyur yang merancang mesin itu ditanya mengapa perangkat tersebut sering terlambat, ia menjawab dengan jujur, “Mungkin karena saya menunda-nunda memperbaikinya.”
Puncak Absurd: Terapi Grup “Besok Lebih Baik”
Setiap minggu, klinik ini mengadakan sesi terapi grup bernama “Besok Lebih Baik.” Dalam sesi ini, semua pasien duduk melingkar dan berbagi tentang tugas-tugas yang telah mereka tunda. Terapi ini dimulai dengan mantra bersama, “Besok kita akan menjadi lebih baik!” Namun, sesi ini sering berakhir tanpa hasil karena semua orang memutuskan bahwa pembahasan masalah mereka bisa ditunda hingga minggu depan.
Namun, ada satu momen epik di mana Agus, sang legenda penunda, berdiri dan berkata, “Kawan-kawan, saya punya ide! Bagaimana kalau kita mulai sekarang?” Semua orang terdiam. Hening. Itu adalah saran yang revolusioner. Tapi setelah lima menit diskusi, mereka memutuskan bahwa ide Agus terlalu radikal dan lebih baik mereka merenungkannya… besok.
Kesimpulan: Klinik yang Tak Pernah Selesai
Klinik Terapi Kecanduan ‘Nanti Saja’ adalah contoh sempurna betapa lucu dan absurdnya hidup manusia ketika dihadapkan dengan kebiasaan buruk mereka sendiri. Tidak ada yang benar-benar sembuh di sini, tetapi semua orang menjadi sedikit lebih sadar akan betapa konyolnya diri mereka. Dan mungkin, hanya mungkin, itu cukup untuk memulai perubahan—meskipun perubahan itu mungkin baru akan terjadi nanti.
Prompt untuk DALL-E: A whimsical and humorous illustration of a procrastination therapy clinic, with a receptionist surrounded by messy paperwork and a clock showing multiple random times, while patients sit in a waiting room reading “Procrastination for Dummies” books.