Pendahuluan: Dimana Kebiasaan Buruk Menjadi Tren
Di suatu tempat yang entah bagaimana berhasil menjadi lebih terpencil daripada tengah gurun yang tidak punya sinyal, berdiri sebuah gedung dengan papan neon mencolok bertuliskan, “Klinik Semesta Sosial – Tempat Kamu Menemukan Diri yang Sebenarnya, Tanpa Filter!” Gedung itu adalah kombinasi yang aneh antara panti jompo, kantor startup teknologi dengan bean bag terlalu banyak, dan kafe hipster yang menjual kopi dengan nama-nama seperti “Espresso Eksistensial”.
Klinik ini didirikan oleh seorang pria bernama Dr. Gunawan Prasetyo, seorang psikolog yang dulunya adalah bintang media sosial dengan 2 juta pengikut di platform yang sekarang sudah mati, bernama “YapYap.” Setelah kehilangan pengikutnya karena algoritma yang berubah (dan sebuah insiden viral yang melibatkan seekor burung unta dan kue ulang tahun berukuran tidak wajar), ia menyadari bahwa kecanduan media sosial adalah epidemi modern. Jadi, ia mengabdikan hidupnya untuk mengobati orang-orang yang tidak bisa berhenti menggulirkan jempol mereka, bahkan saat mereka sedang makan malam atau, lebih buruk lagi, di tengah-tengah pertemuan keluarga.
Metode Revolusioner: Dari Like ke Kehidupan Nyata
Klinik Semesta Sosial memiliki pendekatan yang, menurut brosurnya, “holistik dan inovatif.” Tapi bagi siapa pun yang pernah menjadi pasien, pendekatan itu lebih mirip eksperimen sosial yang dirancang oleh seseorang yang terlalu sering menonton acara komedi di akhir pekan.
1. Ritual Pagi Tanpa Layar
Setiap pagi, para pasien diwajibkan mengikuti sesi meditasi di taman luar klinik. Namun, bukannya mengambil napas dalam-dalam dan mengosongkan pikiran, mereka diminta untuk mengingat nama-nama kontak mereka yang ada di ponsel – tanpa membuka ponselnya. Hasilnya? Rata-rata pasien hanya bisa mengingat nama “Mama,” “Ayah,” dan “Pizza Hut.”
“Ini untuk menunjukkan betapa sedikitnya kita benar-benar mengenal orang-orang dalam daftar kontak kita,” jelas Dr. Gunawan, sambil menyeruput teh herbal yang katanya terbuat dari daun yang ditemukan di halaman belakang klinik.
2. Terapi Like Analog
Terapi ini melibatkan papan tulis besar yang ditempelkan di dada setiap pasien. Pasien lain dianjurkan untuk menulis komentar positif di papan tersebut, seperti “Kamu punya senyum bagus” atau “Aku suka cara kamu tidak membuat suara saat mengunyah.” Namun, karena manusia cenderung jujur secara brutal di dunia nyata, komentar seperti “Kamu harus berhenti memakai kaos yang sama setiap hari” juga muncul cukup sering.
“Ini adalah cara untuk mengembalikan interaksi sosial ke bentuk yang lebih manusiawi,” kata Dr. Gunawan. “Dan, tentu saja, untuk mengajarkan pentingnya menulis dengan tangan.”
3. Permainan Scroll Nyata
Dalam sesi ini, pasien diberi gulungan kertas toilet sepanjang 30 meter dan diminta untuk menggulirnya seperti menggulir feed media sosial. Namun, alih-alih menemukan foto kucing atau meme lucu, isi gulungan itu adalah fakta-fakta sejarah yang membosankan tentang penggalian arkeologi abad ke-19. Seperti yang bisa diduga, ini memicu rasa frustrasi yang mendalam.
“Tujuan dari latihan ini,” jelas salah satu terapis, “adalah untuk menunjukkan bahwa tidak semua yang kita gulirkan itu penting. Kadang-kadang, kita hanya menggulir karena bosan – dan itu tidak membantu siapa pun.”
Karakter Pasien: Keanehan yang Menggemaskan
Tidak ada tempat terapi yang lengkap tanpa karakter-karakter unik yang membuat segalanya menjadi lebih menarik. Klinik Semesta Sosial adalah magnet bagi individu-individu yang memiliki hubungan yang sangat rumit dengan media sosial.
– Rina “Queen of Selfies”
Rina adalah seorang influencer yang terkenal dengan kemampuan luar biasanya untuk menemukan sudut terbaik di setiap foto. Namun, setelah ia mulai menghabiskan 6 jam sehari hanya untuk mengedit fotonya agar terlihat sempurna, ia menyadari bahwa ia tidak lagi tahu seperti apa wajah aslinya tanpa filter. Di klinik, ia berjuang untuk menerima kenyataan bahwa kamera depan ponselnya tidak selalu mengatakan kebenaran.
– Pak Joko, Raja Komentar
Pak Joko adalah pria paruh baya yang terkenal di semua grup WhatsApp keluarga karena selalu mengirimkan meme yang salah konteks dan komentar panjang di setiap postingan. “Saya pikir, jika saya tidak meninggalkan komentar, dunia mungkin akan berhenti memperhatikan saya,” akunya dengan nada sedih. Di klinik, ia diberi tugas untuk menulis komentar di atas kertas – yang kemudian tidak seorang pun diizinkan membacanya.
– Dimas, Penggila Statistik
Dimas adalah seorang mahasiswa yang kecanduan melihat jumlah like dan view di setiap postingannya. Di klinik, ia diberi tugas untuk menghitung jumlah bunga di taman, untuk membuktikan bahwa angka-angka itu tidak selalu berarti sesuatu.
Momen Pencerahan: Sebuah Like yang Tidak Terlihat
Puncak dari perjalanan setiap pasien adalah ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak membutuhkan validasi dari dunia maya untuk merasa penting. Namun, seperti yang bisa diduga, proses ini tidak selalu berjalan mulus.
Suatu hari, saat sesi meditasi pagi, Rina memutuskan untuk berbicara.
“Aku baru saja menyadari sesuatu,” katanya, dengan nada penuh kebijaksanaan. “Aku tidak butuh like atau komentar dari orang lain untuk merasa hidup. Tapi… jika ada yang ingin memberi tahu aku bahwa aku cantik, aku tidak akan menolak.”
Semua orang tertawa, termasuk Pak Joko, yang segera menawarkan untuk menulis komentar itu di papan tulisnya.
Kesimpulan: Hidup Tanpa Hashtag
Klinik Semesta Sosial mungkin tidak sempurna, tetapi ia telah membantu banyak orang menemukan kembali kenyataan. Mereka mungkin masih memeriksa ponsel mereka sesekali, tetapi setidaknya mereka tidak lagi merasa bahwa dunia akan berhenti jika mereka tidak memposting foto makan siang mereka.
Dan Dr. Gunawan? Ia sekarang memiliki lebih banyak pengikut di dunia nyata daripada di dunia maya. Meskipun, jika Anda bertanya kepadanya, ia mungkin akan mengatakan bahwa itu hanyalah bonus kecil dari pekerjaan yang ia cintai.
Prompt Gambar: “A whimsical and slightly absurd mental health clinic in a remote rural area, featuring patients wearing chalkboards on their chests with written messages, and a serene doctor sipping herbal tea in a garden full of blooming flowers.”