Selamat Datang di Klinik Lupa Nama
Di pinggiran kota yang tampak seperti hasil kompromi buruk antara arsitektur fungsional dan cat warna pastel, berdiri sebuah bangunan yang disebut “Klinik Lupa Nama.” Ya, itu benar-benar namanya. Tidak ada plakat besar, hanya secarik kertas A4 yang ditempelkan dengan isolasi di pintu depan bertuliskan dengan huruf Comic Sans: “Klinik Lupa Nama. Layanan Terbaik untuk Hal-Hal yang Anda Tidak Ingat.”
Di dalamnya, seorang pasien duduk di ruang tunggu dengan ekspresi bingung. Namanya… yah, tidak ada yang tahu, termasuk dia sendiri. Tapi bagi kenyamanan narasi, kita sebut saja dia Pak Gosip. Bukan karena dia suka menyebarkan gosip—oh, tidak. Itu terlalu klise. Dia hanya kebetulan hafal semua gosip terbaru di kota, meskipun sama sekali tidak ingat siapa dirinya.
Pertemuan dengan Dokter
Dokter di klinik itu, seorang pria jangkung dengan rambut acak-acakan yang tampak seperti baru saja kalah berkelahi dengan kipas angin, masuk ke ruang tunggu dan melirik pasiennya. Namanya adalah Dr. Ferdinand Celomet, seorang ahli neuropsikologi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya mencoba menjelaskan kepada orang-orang bahwa “neuropsikologi” bukan berarti dia bisa membaca pikiran mereka.
“Selamat pagi, Pak… eh…” Dr. Celomet memeriksa catatan di tangannya, yang kosong karena pasien ini lupa mengisi formulir. “Baiklah, kita panggil Anda Pak X. Jadi, apa yang Anda ingat?”
Pak Gosip menggaruk kepalanya. “Saya tidak ingat nama saya, tempat saya tinggal, atau kenapa saya di sini. Tapi saya tahu Bu Ratna dari toko kelontong sedang berselisih dengan Pak Joko soal siapa yang meminjam blender duluan. Dan, oh, Pak Danu yang punya warung bakso itu ternyata… vegetarian.”
Dr. Celomet mengedipkan mata beberapa kali, seperti komputer yang baru saja diberi perintah yang tidak logis. “Jadi, Anda tidak ingat siapa Anda, tetapi Anda tahu semua gosip di kota?”
Pak Gosip mengangguk dengan percaya diri. “Oh, dan saya juga tahu kalau Bu Lila, pengurus RT, diam-diam menyembunyikan koleksi sendok antik di lemari dapurnya.”
Diagnosis yang Tidak Biasa
Dr. Celomet duduk di kursi di seberang Pak Gosip dan menghela napas panjang. “Menarik. Saya pernah menangani pasien yang lupa warna favoritnya tetapi tetap hafal skor pertandingan sepak bola tahun 1998. Tapi ini… ini sesuatu yang baru.”
“Jadi, apa yang salah dengan saya, Dok?” tanya Pak Gosip sambil bersandar dengan santai, seperti seseorang yang yakin bahwa tidak mengingat nama sendiri adalah hal yang sepenuhnya normal.
“Hmm.” Dr. Celomet memutar-mutar pulpen di jarinya, sebuah kebiasaan yang sering membuat pasien bertanya-tanya apakah dia benar-benar tahu apa yang dia lakukan. “Saya menduga Anda mengalami kondisi yang disebut Hyper-Social Memory Dissociation Syndrome. Singkatnya, otak Anda memutuskan bahwa gosip lebih penting daripada identitas Anda sendiri. Sebuah… prioritas yang, jujur saja, bisa diperdebatkan.”
Pak Gosip mengangguk seolah-olah itu masuk akal. “Jadi, bagaimana cara menyembuhkannya?”
“Yah,” kata Dr. Celomet, “biasanya saya akan menyarankan terapi memori intensif. Tapi mengingat Anda lebih tahu tentang kehidupan orang lain daripada orang itu sendiri, saya khawatir itu tidak akan membantu.”
Teori Konspirasi dan Teh Hangat
Saat mereka berbicara, seorang perawat masuk membawa teh hangat. Namanya adalah Siti, seorang wanita muda yang sudah terlalu sering menyaksikan hal-hal aneh di klinik ini sehingga dia tampak selalu tenang, bahkan ketika seorang pasien mencoba memakan stetoskopnya karena mengira itu adalah permen karet.
“Pak Gosip, teh Anda,” katanya sambil meletakkan cangkir di meja kecil.
“Oh, terima kasih, Siti,” kata Pak Gosip. “Ngomong-ngomong, saya dengar kamu dan Mas Andi dari toko buku itu sedang—”
“Tidak usah diteruskan,” potong Siti dengan senyum tipis. “Saya tidak perlu gosip tentang diri saya sendiri di tempat kerja.”
Dr. Celomet batuk kecil untuk mengembalikan perhatian ke dirinya. “Pak X, saya punya teori lain. Mungkin Anda adalah semacam antena manusia.”
“Antena?” Pak Gosip mengerutkan kening. “Seperti untuk televisi?”
“Lebih seperti antena sosial,” jelas Dr. Celomet. “Anda menangkap semua informasi sosial di sekitar Anda dan menyimpannya, tetapi karena itu memakan terlalu banyak ruang di otak Anda, otak Anda mengorbankan informasi pribadi Anda sendiri.”
Pak Gosip menyesap tehnya. “Itu menjelaskan kenapa saya bisa tahu siapa yang mencuri kucing Bu Nani, tapi tidak tahu siapa saya.”
“Persis,” kata Dr. Celomet, tampak sangat puas dengan dirinya sendiri.
Solusi yang Mengejutkan
Setelah beberapa saat merenung, Dr. Celomet tersenyum lebar. “Saya punya ide. Jika otak Anda lebih suka menyimpan gosip daripada fakta tentang diri Anda, maka kita hanya perlu membuat Anda menjadi bagian dari gosip itu.”
Pak Gosip terlihat bingung. “Maksudnya?”
“Kita buat skandal!” seru Dr. Celomet. “Orang-orang akan mulai membicarakan Anda. Dan karena Anda menyerap semua gosip, Anda akan mengingat diri Anda sendiri!”
Siti menjatuhkan baki di tangannya. “Maaf, Dok. Anda ingin membuat pasien ini—yang bahkan tidak tahu namanya sendiri—menjadi pusat gosip kota?”
“Ya,” jawab Dr. Celomet dengan antusias. “Ini solusi sempurna! Pak X akan menjadi legenda lokal. Semua orang akan membicarakannya, dan dia akan menyerap informasi itu hingga dia ingat siapa dirinya.”
Pak Gosip mengangkat alis. “Tapi bagaimana caranya?”
“Sederhana,” kata Dr. Celomet sambil berdiri. “Kita buat Anda membuka kafe kucing. Semua orang suka kucing dan kopi. Dan jika Anda menambahkan plot twist kecil seperti… oh, saya tidak tahu, kucing yang bisa bermain catur, maka Anda akan jadi bahan pembicaraan seluruh kota.”
Epilog
Sebulan kemudian, Pak Gosip—sekarang dikenal sebagai Pak Jaya (ternyata itu namanya)—menjadi pemilik kafe kucing paling populer di kota. Dia masih tidak ingat semua detail tentang masa lalunya, tetapi dia ingat bahwa dia adalah orang yang semua orang ingin ajak bicara. Dan baginya, itu sudah cukup.
Dr. Celomet, sementara itu, sedang sibuk menulis makalah ilmiah tentang “Metode Gosip untuk Pemulihan Memori,” yang dia yakin akan memenangkan penghargaan Nobel. Atau setidaknya menjadi topik obrolan panas di seminar neuropsikologi berikutnya.
Prompt Gambar: “A quirky clinic lobby with a confused man holding a teacup, a tall eccentric doctor gesturing wildly, and a young nurse rolling her eyes. A comically large sign in Comic Sans reads ‘Klinik Lupa Nama’ in the background.”