Ketika Pesta Api Unggun Bertemu Bioskop Dalam Gedung

Ketika Pesta Api Unggun Bertemu Bioskop Dalam Gedung

Prolog: Gagasan yang Tidak Pernah Harus Muncul

Di sebuah kota kecil bernama Lembah Sukamundur, ada sebuah tradisi tahunan yang selalu membuat warganya terpecah antara takjub dan ketakutan: Festival Api Unggun dan Cemilan Jagung Gosong. Biasanya, acara ini dilakukan di lapangan terbuka dengan risiko minimal, kecuali jika Anda berdiri terlalu dekat dengan api dan lupa bahwa jaket Anda berbahan poliester. Namun, tahun ini, panitia festival memutuskan untuk melakukan sesuatu yang, menurut mereka, “benar-benar inovatif”—memindahkan pesta api unggun ke dalam gedung bioskop lokal.

“Kenapa harus di dalam?” tanya Pak Darman, seorang warga yang terkenal karena selalu mempertanyakan segalanya, termasuk kenapa pisang tidak pernah dijual dalam warna biru.

“Karena kita bisa!” jawab Ketua Panitia, Bu Sri, dengan penuh semangat, seolah-olah itu adalah jawaban yang masuk akal.

Dan begitulah, Lembah Sukamundur bersiap untuk menyaksikan eksperimen budaya paling berbahaya sejak seseorang mencoba membuat nasi goreng dengan api unggun.

Bab 1: Gedung Bioskop yang Terlalu Optimis

Gedung bioskop tempat acara ini diadakan, Bioskop Cendana, adalah bangunan tua yang penuh dengan sejarah, bau popcorn basi, dan kursi yang berbunyi setiap kali Anda mencoba duduk diam. Pemiliknya, Pak Jaya, adalah seorang pria tua dengan semangat bisnis yang besar, meskipun idenya sering kali lebih cocok untuk episode acara pencarian bakat yang gagal.

“Api unggun di dalam gedung? Ide brilian!” katanya sambil menandatangani dokumen persetujuan, yang sebenarnya adalah daftar belanjaan istrinya. “Kita hanya perlu memastikan semua orang membawa marshmallow.”

Namun, tidak semua orang di kota setuju dengan konsep ini. Bu Yati, yang menjalankan warung soto di sebelah bioskop, khawatir api unggun itu bisa menyebar ke dagangannya. “Kalau api itu melompat ke panci soto saya, siapa yang akan bertanggung jawab?” tanyanya dengan nada dramatis.

“Tenang saja, Bu Yati,” kata Pak Jaya sambil tersenyum, “kalau itu terjadi, soto Anda akan jadi lebih smokey dan premium.”

Bab 2: Malam yang Mengubah Segalanya

Pada malam yang ditunggu-tunggu, warga Lembah Sukamundur berkumpul di Bioskop Cendana. Di tengah aula utama, berdiri sebuah tumpukan kayu besar yang, jika dilihat dengan mata kepala sendiri, akan membuat inspektur keselamatan kerja mengalami mimpi buruk selama seminggu. Di sekitar tumpukan kayu itu, terdapat kursi-kursi bioskop yang disusun melingkar, menciptakan suasana yang entah bagaimana terasa seperti campuran antara ritual kuno dan tamasya keluarga.

Film yang diputar malam itu adalah Petualangan Si Kancil ke Bulan, sebuah film animasi lokal yang, meskipun ceritanya agak membingungkan, selalu berhasil membuat penonton tertawa karena efek suara yang aneh.

“Ini dia,” gumam Pak Jaya sambil menyalakan api unggun dengan korek api yang terlihat seperti sudah dipakai sejak zaman penjajahan. Dalam hitungan detik, api mulai berkobar, memberikan cahaya hangat yang memantul di dinding penuh poster film lama.

Semua orang terpesona, kecuali Bu Yati, yang sudah menyiapkan ember air dengan ekspresi seperti seseorang yang baru saja mendengar bahwa harga cabai naik lagi.

Bab 3: Ketika Masalah Datang dengan Bumbu Jagung

Pada awalnya, semuanya berjalan lancar. Anak-anak berlarian dengan marshmallow di tangan, para orang tua menikmati film, dan Bu Sri sibuk menjelaskan kepada semua orang bahwa ide ini adalah “inovasi terbesar sejak karaoke.”

Namun, masalah mulai muncul ketika Pak Darman, yang dikenal sebagai “Ahli Segala Hal yang Sebenarnya Tidak Penting,” memutuskan untuk memanggang jagung di atas api unggun. Sayangnya, ia lupa bahwa kursinya terlalu dekat dengan api, dan dalam waktu singkat, ia menemukan dirinya menjadi bagian dari “perayaan api unggun” dalam cara yang sangat literal.

“Kursi saya terbakar!” teriak Pak Darman sambil melompat. Orang-orang langsung panik, kecuali seorang anak kecil di barisan depan yang bertepuk tangan karena mengira itu adalah bagian dari acara.

Pak Jaya berlari ke arah api dengan alat pemadam kebakaran, hanya untuk menyadari bahwa alat itu sudah kedaluwarsa sejak tahun 1995. Akhirnya, Bu Yati muncul sebagai pahlawan dengan ember airnya, memadamkan api sambil berseru, “Saya sudah bilang ini ide buruk!”

Bab 4: Penutup yang Tidak Terduga

Meskipun malam itu penuh dengan insiden, warga Lembah Sukamundur akhirnya sepakat bahwa mereka tidak akan pernah melupakan pengalaman ini. Api unggun berhasil dipadamkan, kursi bioskop diperbaiki (meskipun kini memiliki aroma seperti kayu bakar), dan film dilanjutkan dengan hanya sedikit gangguan dari asap yang tersisa.

Pak Jaya, meskipun sedikit kecewa, tetap optimis. “Kita mungkin gagal tahun ini, tapi tunggu saja ide saya berikutnya: bioskop drive-in di laut!”

Sementara itu, Bu Sri memutuskan untuk mengundurkan diri dari panitia festival, dengan alasan bahwa ia sudah “terlalu tua untuk ide-ide gila ini.” Bu Yati, di sisi lain, menjadi pahlawan lokal dan membuka warung baru bernama “Soto Asap Unggun,” yang langsung menjadi hit di kalangan wisatawan.

Dan begitulah, Lembah Sukamundur kembali ke kehidupan normalnya, sambil menunggu inovasi aneh berikutnya yang mungkin melibatkan trampolin dan kebun binatang mini.


Prompt Gambar: “An indoor movie theater with a blazing campfire in the center, surrounded by confused villagers roasting marshmallows while someone accidentally sets their chair on fire. The scene is whimsical and chaotic, with a slightly smoky atmosphere.”