Pengantar: Ariel, Sang Penyayang Hati (dan Pencabut Nyawa)
Pada suatu masa di sebuah kerajaan bawah laut bernama Atlantikanya (bukan Atlantis, karena itu nama yang sudah terlalu sering dipakai), hiduplah seorang putri duyung bernama Ariel. Namun, jangan langsung membayangkan gadis duyung cantik bernyanyi tentang mimpi-mimpi menjadi manusia sambil menyisir rambut dengan garpu. Tidak, Ariel kita adalah sesuatu yang lebih dekat dengan mimpi buruk seorang nelayan yang sedang memancing di malam hari.
Ariel adalah putri duyung dengan gigi yang, jika dibandingkan, lebih menyeramkan daripada katalog alat bor di toko bangunan terbesar di dunia. Siripnya berkilauan dengan warna merah tua—yang, jika Anda penasaran, bukan warna alami. Itu adalah hasil dari ‘karya seni’ yang ia buat setiap kali ia merasa lapar. Dan Ariel selalu lapar.
Namun yang membuat Ariel benar-benar unik adalah sifatnya yang absurd. Dia tidak hanya membunuh demi makan, tetapi juga demi… hiburan. Jika ada yang pernah mendengar kisah pelaut yang kapal mereka hilang di malam berkabut, Ariel mungkin sedang mencoba permainan baru yang dia namakan “Siapa yang Bisa Menghindari Ombak Buatan Saya?” Spoiler: Tidak ada yang bisa.
Jika ini terasa mengerikan, tunggu sampai Anda mengenal selera humornya.
Ariel dan Misi “Damai” di Antara Spesies
Suatu hari, Ariel sedang berenang santai di atas bangkai kapal yang ia hancurkan minggu lalu. Ia sedang sibuk menghitung berapa banyak cara kreatif yang bisa ia pikirkan untuk menenggelamkan kapal lain. Namun, saat ia menghitung, seekor gurita bernama Odo mendekatinya dengan ekspresi cemas.
“Ariel,” Odo berkata pelan. “Kamu tahu, ini mulai jadi masalah serius. Para manusia sekarang membawa alat yang mereka sebut harpoon otomatis. Itu… kurang menyenangkan.”
Ariel mengerutkan alisnya. “Harpoon otomatis? Apa itu semacam mainan baru? Kedengarannya seperti sesuatu yang menyenangkan untuk dicoba.”
“Tidak, tidak!” Odo melambaikan tentakel-tentakelnya dengan panik. “Itu sangat berbahaya! Mereka menggunakannya untuk memburu kita. Semua ini karena, yah… kamu tahu, semua kapal yang kamu tenggelamkan belakangan ini.”
Ariel berpikir sejenak, menggaruk-garuk dagunya dengan sirip (yang, jika diperhatikan, memiliki cakar kecil di ujungnya). “Jadi, maksudmu aku harus berhenti? Itu terdengar sangat… membosankan.”
“Tidak, aku hanya mengatakan bahwa mungkin kita perlu strategi baru. Kamu tahu, sesuatu yang lebih damai. Seperti diplomasi.”
“Diplomasi?” Ariel tertawa keras, suaranya menggema di seluruh dasar laut. “Odo, aku bahkan tidak tahu bagaimana mengeja itu.”
Odo mendesah. “Tentu, kamu tak punya sekolah di dasar laut, tapi itu bukan alasan. Bagaimana kalau kita mencoba berbicara dengan manusia, menunjukkan bahwa kita sebenarnya bisa hidup berdampingan?”
Ariel memandang Odo dengan tatapan yang hanya bisa digambarkan sebagai campuran antara kebingungan dan rasa lapar. “Baiklah, aku akan mencobanya. Tapi hanya karena aku penasaran apakah manusia benar-benar memiliki rasa humor sebaik aku.”
Pertemuan dengan Manusia: Kekacauan yang Wajar
Ariel muncul ke permukaan di dekat sebuah kapal pesiar mewah. Ia memilih kapal ini karena, menurutnya, manusia di kapal seperti ini biasanya memiliki makanan yang lebih enak. Tapi kali ini, dia tidak datang untuk makan. Dia datang untuk… diplomasi, atau setidaknya versi diplomasi ala Ariel.
“Aku Ariel, putri duyung dari Atlantikanya!” Ia berteriak dengan suara yang bisa membuat paus terdekat kehilangan arah. “Aku datang dengan pesan damai!”
Para penumpang di kapal itu, yang sebagian besar sedang sibuk menikmati koktail, terdiam. Beberapa dari mereka mulai tertawa, berpikir bahwa ini adalah bagian dari pertunjukan.
“Aku serius!” Ariel melanjutkan. “Aku ingin menghentikan perang antara manusia dan makhluk laut. Tapi, sebelum kita melanjutkan, aku perlu bertanya: Apakah ada di antara kalian yang membawa saus tartar?”
Tiba-tiba, seorang pria dengan jaket pelampung melangkah maju. “Ini lelucon, kan? Semacam iklan pariwisata baru?”
Ariel mengerutkan kening. “Tidak, ini bukan lelucon. Aku serius. Kalian manusia perlu berhenti membuat alat-alat konyol seperti harpoon otomatis. Itu tidak adil. Jika kalian ingin berkelahi, setidaknya gunakan tangan kosong. Itu lebih… menyenangkan.”
Pria itu tertawa kecil. “Maaf, Nona Duyung, tapi kami tidak bisa begitu saja berhenti. Kita harus melindungi diri dari, yah, makhluk seperti kamu.”
Ariel mengangkat alisnya (yang, entah bagaimana, terlihat sangat dramatis meskipun dia tidak memiliki rambut). “Makhluk seperti aku? Apa maksudmu? Aku hanya mencoba berteman dengan kalian!”
Pria itu menunjuk ke arah kapal nelayan kecil di kejauhan. “Benarkah? Lalu apa yang terjadi pada kapal itu minggu lalu, yang tenggelam tanpa jejak?”
Ariel terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang tajam. “Oh, itu? Itu hanya… eksperimen ilmiah. Aku mencoba memahami gravitasi dalam air.”
Akhir Kisah: Diplomasi yang Gagal, Tapi Tetap Menghibur
Setelah beberapa jam ‘diplomasi’ yang lebih mirip stand-up comedy, Ariel akhirnya memutuskan bahwa manusia terlalu sulit untuk diajak bekerja sama. Dia kembali ke dasar laut, meninggalkan kapal pesiar itu dengan sirip yang melambai penuh arti.
“Bagaimana hasilnya?” tanya Odo ketika Ariel kembali.
Ariel menghela napas. “Mereka benar-benar membosankan. Tidak ada yang mau bermain. Tapi di sisi terang, aku menemukan sesuatu yang luar biasa.”
“Apa itu?” Odo bertanya dengan ragu.
Ariel mengangkat sebuah benda kecil dari balik siripnya. “Ini. Mereka menyebutnya ‘pisau steak’. Aku pikir ini akan sangat berguna untuk permainan baru.”
Dan dengan itu, Ariel berenang ke kejauhan, mencari petualangan berikutnya. Mungkin bukan jenis kemenangan diplomasi yang diharapkan Odo, tetapi, hei, setidaknya Ariel tetap menjadi dirinya yang unik dan tak tertandingi.
Prompt Gambar: “A terrifying yet whimsical mermaid with sharp teeth and a crimson-red tail, surrounded by confused sailors on a luxury yacht. The scene is absurdly humorous with a mix of danger and comedy.”