Jodoh, Pembuat Kopi, dan Mesin Waktu yang Tidak Pernah Dibuat

Jodoh, Pembuat Kopi, dan Mesin Waktu yang Tidak Pernah Dibuat

Prolog: Secangkir Kopi yang Terlalu Panas

Di sudut sebuah kafe kecil di tengah kota yang padat, seorang pria bernama Raka memandangi secangkir kopi yang mendidih dengan intensitas yang hanya bisa diasosiasikan dengan seseorang yang baru saja diberitahu bahwa kucingnya mungkin adalah burung camar yang menyamar selama ini. Kopi itu terlalu panas, dan ini adalah fakta yang tidak bisa ia abaikan. Sebab, dalam pikirannya, ada paradoks yang aneh: jika ia menunggu kopi itu cukup lama untuk dingin, ia akan terlambat bertemu dengan seseorang yang, menurut peramal yang ia temui minggu lalu di pasar malam, adalah “jodoh sejatinya.”

Namun, jika ia meminumnya sekarang, ia mungkin akan kehilangan kemampuan rasa di lidahnya seumur hidup. Sebuah dilema yang absurd, tetapi sangat nyata.

Bab 1: Peramal, Jam Tangan, dan Janji Kacau

Seminggu sebelumnya, Raka bertemu dengan seorang peramal bernama Bu Ratmi, yang memiliki kios kecil yang penuh dengan lilin menyala dan aroma dupa yang cukup kuat untuk membuat siapa pun mempertimbangkan kembali keputusan hidup mereka.

“Jodohmu akan muncul di kafe pukul 15.00 tepat minggu depan,” kata Bu Ratmi dengan yakin, sambil memainkan bola kristalnya yang, anehnya, adalah bola sepak yang dilapisi glitter.

“Bagaimana jika aku terlambat?” tanya Raka sambil memandangi jam tangannya yang, ironisnya, rusak.

“Kalau begitu, kau akan kehilangan kesempatan bertemu dengannya selamanya,” jawab Bu Ratmi dengan nada misterius yang tidak membantu sama sekali.

Raka tidak tahu apakah ia harus percaya atau tidak, tetapi seperti kebanyakan pria yang baru saja diputuskan pacarnya melalui pesan singkat yang hanya berbunyi “Maaf, ini tidak akan berhasil,” ia memutuskan untuk mempercayai apa pun yang memberinya harapan.

Bab 2: Mesin Kopi dan Filosofi Jodoh

Minggu itu, Raka tiba di kafe lebih awal. Ia memesan kopi Americano, karena itulah satu-satunya jenis kopi yang ia tahu tidak mengandung susu. Namun, barista di sana, seorang wanita bernama Siska dengan tato berbentuk penggaris di lengannya, dengan santai berkata, “Mesin kopi kami sedang temperamental hari ini. Mungkin kopinya akan lebih panas dari biasanya.”

Ketika kopi akhirnya tiba, ia mendapati dirinya terjebak dalam dilema: jika ia menunggu terlalu lama, ia akan terlambat bertemu dengan jodohnya. Tetapi jika ia segera meminumnya, ia mungkin akan menghabiskan sisa hidupnya dengan lidah yang tidak bisa merasakan apa-apa, yang jelas bukan awal yang baik untuk hubungan romantis.

“Kenapa kopi ini terlalu panas?” gumam Raka, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.

Siska mendengar gumamannya dan menjawab dengan santai, “Mungkin itu karena mesin kopi kami dirancang oleh seorang insinyur yang percaya bahwa panas adalah metafora untuk cinta. Atau mungkin karena termostatnya rusak. Siapa yang tahu?”

Bab 3: Paradoks Jodoh

Sambil menunggu kopinya dingin, Raka mulai memikirkan paradoks yang aneh: bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki “jodoh sejati” jika setiap keputusan kecil dalam hidup, seperti kapan harus meminum kopi, dapat mengubah jalannya takdir? Bagaimana jika ia memutuskan untuk meminum kopi sekarang, dan kemudian ia bertemu dengan seseorang yang bukan jodohnya, tetapi yang ternyata jauh lebih baik untuknya dalam jangka panjang?

Pikirannya semakin kacau ketika Siska, yang tampaknya memiliki kebiasaan mendengar pemikiran orang lain tanpa izin, berkata, “Kau tahu, dalam fisika kuantum, ada teori yang mengatakan bahwa setiap keputusan menciptakan realitas alternatif. Jadi, mungkin di alam semesta lain, kau sudah menikah dengan barista di kafe sebelah.”

“Apakah itu semacam rayuan?” tanya Raka, setengah berharap dan setengah bingung.

“Tidak,” jawab Siska sambil tertawa. “Hanya sebuah fakta acak untuk membuat harimu lebih menarik.”

Bab 4: Dilema yang Tidak Pernah Selesai

Pada pukul 15.00 tepat, pintu kafe terbuka, dan seorang wanita masuk. Ia tampak biasa saja—tidak terlalu cantik, tidak terlalu mencolok—tetapi ada sesuatu tentang cara ia memegang tasnya yang membuat Raka merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, inilah orang yang ia tunggu-tunggu.

Namun, pada saat yang sama, kopinya telah mencapai suhu yang sempurna untuk diminum. Ia menghadapi keputusan terakhir: apakah ia akan meminum kopi itu sekarang, menikmati momen kecil yang sempurna, atau apakah ia akan bangkit dan mencoba berbicara dengan wanita itu, mengambil risiko bahwa ia mungkin akan ditolak, atau lebih buruk lagi, bahwa ia mungkin bukan jodohnya?

Dalam momen itu, Raka menyadari sesuatu yang penting: hidup adalah serangkaian paradoks dan dilema yang terus-menerus. Tidak ada jawaban yang benar atau salah, hanya keputusan yang harus diambil. Jadi, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Ia bangkit, membawa kopinya yang hangat, dan berjalan menuju wanita itu. “Hai, aku Raka. Mau secangkir kopi?”

Wanita itu tertawa. “Tentu. Aku Mira.”

Mungkin Bu Ratmi benar. Atau mungkin tidak. Tapi itu tidak penting. Yang penting, Raka telah memutuskan untuk tidak membiarkan paradoks menghentikannya.

Epilog: Mesin Kopi dan Kehidupan

Di sudut lain kafe, Siska memandang mereka dengan senyum kecil. “Mungkin aku harus memperbaiki mesin kopi itu,” gumamnya. “Atau mungkin tidak. Siapa yang tahu?”


Illustration: A whimsical coffee shop scene with a quirky barista, a man holding a cup of coffee, and a mysterious woman entering through the door, all depicted in a humorous and slightly surreal style.