Pengantar Tak Terduga
Di sudut kota yang tak begitu ramai, terdapat sebuah kafe kecil bernama “Kafe Kontradiksi”. Nama itu bukan sekadar nama—pemiliknya, Pak Danu, adalah pria yang percaya bahwa hidup adalah paradoks. Dia memaknai jodoh sebagai “sesuatu yang terjadi ketika logika menyerah dan abstraksi mengambil alih”. Namun, dia juga percaya bahwa jodoh adalah hasil dari algoritma yang sempurna. Bertentangan? Tentu saja. Tapi tidak ada yang seperti secangkir kopi pahit dan roti manis untuk menjelaskan apa yang sulit dijelaskan.
Suatu sore yang mendung, seorang mahasiswa teknik komputer bernama Jaka duduk di meja sudut, laptopnya terbuka dengan layar penuh kode Python yang terlihat seperti mantra kuno. Di meja sebelahnya duduk seorang wanita bernama Sinta, seorang desainer grafis yang sedang mencoret-coret sketsa wajah seorang pria yang tampak seperti kombinasi Leonardo DiCaprio dan—anehnya—seekor panda. Mereka tidak saling kenal, tidak pernah bertemu, dan tidak ada alasan bagi mereka untuk berbicara. Tetapi, sebuah cangkir kopi yang retak akan segera mengubah segalanya.
Kejadian Luar Biasa dengan Cangkir Kopi
Saat Jaka menyesap kopi keduanya, cangkir keramiknya tiba-tiba retak. Celah kecil di cangkir itu membentuk pola aneh yang, jika dilihat dari sudut tertentu, tampak seperti peta. Peta itu, entah bagaimana, membuat Jaka terpikirkan sesuatu yang sangat spesifik: algoritma pencocokan pasangan berbasis data besar. Tentu saja, ini adalah hal yang sangat normal untuk seorang mahasiswa teknik komputer yang sudah terlalu banyak minum kafein.
Sementara itu, Sinta, yang duduk di sebelah Jaka, memperhatikan cangkir retak itu dan berpikir hal yang sama sekali berbeda. Baginya, pola itu terlihat seperti wajah. Lebih spesifik lagi, wajah pria yang dia gambar—paduan Leonardo dan panda. Dia merasa ada sesuatu yang janggal, seolah-olah semesta sedang berusaha mengatakan sesuatu melalui cangkir kopi retak itu.
“Aneh sekali,” gumam Jaka, lebih kepada dirinya sendiri.
“Benar-benar aneh,” balas Sinta, tanpa sadar bahwa dia sedang berbicara dengan orang asing.
Mereka saling menoleh, dan untuk sesaat, mereka berdua merasa seperti sedang berada dalam iklan kopi yang terlalu dramatis.
Algoritma Jodoh
Setelah beberapa detik keheningan yang canggung, Jaka, yang tidak pandai berbasa-basi, langsung berbicara tentang apa yang ada di pikirannya. “Kamu tahu? Kalau dipikir-pikir, jodoh itu bisa dijelaskan dengan algoritma. Data besar, analisis pola, dan sedikit pembelajaran mesin. Misalnya, kalau kita tahu kebiasaan seseorang, seperti apa yang mereka suka, apa yang mereka benci, kita bisa memprediksi siapa pasangan ideal mereka.”
Sinta memiringkan kepalanya, mencoba memahami bagaimana seseorang bisa menyamakan cinta dengan kode program. “Jadi, menurutmu, jodoh itu cuma soal data? Tidak ada hubungannya dengan perasaan, intuisi, atau… ya, kamu tahu, takdir?”
“Tentu saja ada logikanya. Tapi takdir itu cuma hasil dari variabel-variabel yang kita belum pahami,” jawab Jaka, dengan nada seolah-olah dia baru saja menyelesaikan persamaan Einstein tentang gravitasi.
Sinta tertawa kecil. “Baiklah, Profesor Kopi Retak. Kalau begitu, jelaskan kenapa cangkir kopimu retak dan membuat kita berbicara sekarang.”
Jaka membuka mulutnya, tapi tak ada jawaban. Karena, seperti biasa, logika punya batasnya.
Seni dan Logika
Percakapan mereka berlanjut. Jaka menjelaskan idenya tentang algoritma jodoh, bagaimana dia percaya bahwa segala sesuatu bisa dihitung, bahkan emosi. Sinta, di sisi lain, mencoba membela gagasan bahwa cinta dan jodoh adalah seni abstrak, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan angka dan kode.
“Aku desainer grafis,” kata Sinta, “dan setiap proyekku dimulai dengan kekacauan. Tidak ada pola, tidak ada struktur. Tapi dari kekacauan itu muncul sesuatu yang bermakna. Menurutku, cinta juga seperti itu. Kamu tidak bisa merencanakannya.”
“Tapi kamu bisa mengoptimalkannya,” balas Jaka. “Misalnya, kamu bisa membuat aplikasi yang memprediksi pasangan terbaik untukmu berdasarkan preferensi warna, musik, film, bahkan gaya hidup.”
Sinta menggeleng sambil tersenyum. “Dan apa yang terjadi jika pasangan terbaik itu membenci kopi? Atau, lebih buruk lagi, mereka suka kopi tapi selalu memecahkan cangkirnya?”
Jaka tertawa. Untuk pertama kalinya, dia merasa argumennya mungkin tidak sekuat yang dia kira.
Kesimpulan Tak Logis
Menjelang malam, mereka berdua sepakat untuk tidak sepakat. Jaka tetap percaya pada logika, algoritma, dan kecerdasan buatan. Sinta tetap percaya pada seni, intuisi, dan sedikit keajaiban. Tapi ada satu hal yang mereka sepakati: cangkir kopi yang retak itu adalah alasan mereka bertemu, dan alasan mereka berbicara sepanjang sore.
“Jadi, bagaimana menurutmu?” tanya Sinta ketika mereka keluar dari kafe bersama. “Jodoh itu lebih ke logika atau lebih ke seni?”
Jaka berpikir sejenak sebelum menjawab. “Mungkin jodoh adalah sesuatu yang terjadi ketika logika dan seni berhenti bertengkar dan memutuskan untuk bekerja sama.”
Sinta tersenyum. “Kamu tahu? Itu mungkin hal paling masuk akal yang kamu katakan hari ini.”
Dan dengan itu, mereka berjalan pergi, meninggalkan Kafe Kontradiksi dan cangkir kopi retak yang, entah bagaimana, telah mengubah hidup mereka.
Illustration: “A quaint coffee shop with two people talking over a broken coffee mug, one is a computer programmer with a laptop, and the other is an artist sketching on a notebook. The setting is cozy and slightly whimsical, with abstract patterns on the walls.”