Awal Mula Masalah di Kelurahan Suka Sejahtera
Di suatu kelurahan kecil bernama Suka Sejahtera, yang terkenal bukan karena prestasi warganya, tetapi karena papan nama kelurahan yang dibuat dari triplek dan selalu miring seperti ingin melarikan diri dari tiang, terjadi suatu inovasi yang menggegerkan. Kepala Kelurahan, Pak Suripto, adalah orang yang percaya bahwa “kreativitas tanpa batas” adalah semboyan yang cocok untuk mengatasi masalah anggaran yang terus-terusan bocor entah ke mana.
Pak Suripto, yang punya hobi membaca artikel clickbait tentang “10 Ide Gila yang Berhasil,” memutuskan untuk membuat inovasi gabungan: budidaya ikan sidat, atraksi jerapah, dan program pemberdayaan masyarakat berbasis kelurahan. Dalam pikirannya, sidat adalah ikan yang lincah dan bergizi tinggi, jerapah adalah hewan yang bisa membawa daya tarik wisata, dan kelurahan adalah tempat sempurna untuk mewujudkan ide ini karena… ya, kenapa tidak?
Namun, seperti halnya kebanyakan ide yang terdengar brilian di awal, pelaksanaannya ternyata penuh masalah.
Sidat yang Tertukar
Pak Suripto memulai langkah pertamanya dengan mendatangkan benih ikan sidat dari pemasok lokal. Namun, karena kesalahan komunikasi (dan mungkin karena Pak Suripto terlalu percaya pada aplikasi belanja daring), yang datang bukan benih sidat, melainkan ikan sapu-sapu.
“Wah, ini sidatnya kok hitam semua, ya?” kata Pak Suripto sambil memandangi kolam yang penuh dengan ikan sapu-sapu yang tampak lebih tertarik membersihkan lumut daripada menjadi sumber penghasilan.
“Tapi, Pak,” kata Bu Tini, sekretaris kelurahan yang sebenarnya lebih tertarik menonton sinetron daripada mengurus administrasi, “ikan sapu-sapu ini kan juga bisa dijual. Katanya bagus buat aquarium.”
“Betul juga! Kalau begitu kita branding saja sebagai ‘Sidat Anti-Lumut’!” ujar Pak Suripto dengan semangat yang sama seperti orang yang baru menemukan diskon 90% di toko online.
Jerapah yang Salah Tempat
Langkah kedua adalah mendatangkan jerapah. Ide ini, menurut Pak Suripto, sangat visioner karena jerapah adalah simbol eksotis yang bisa menarik wisatawan. Namun, Suka Sejahtera adalah kelurahan kecil di dataran rendah yang dikelilingi sawah, dan warga setempat belum pernah melihat jerapah secara langsung.
Ketika jerapah akhirnya tiba dengan truk terbuka, semua warga berkumpul di balai kelurahan untuk menyambutnya.
“Pak, ini lehernya kok panjang banget? Apa nggak susah cari baju?” tanya Pak Joyo, seorang warga yang dikenal suka mengomentari hal-hal yang sebenarnya tidak relevan.
“Ini memang jerapah, Pak Joyo. Leher panjangnya itu daya tarik utama!” jawab Pak Suripto dengan nada bangga.
Namun, masalah muncul ketika jerapah itu, yang diberi nama Giraffi oleh anak-anak setempat, mulai memakan daun-daun pohon mangga milik warga. Pohon mangga adalah kebanggaan kelurahan, karena hasil mangganya sering dijadikan oleh-oleh oleh pengunjung yang kebetulan tersesat di daerah itu.
“Ini hewan makanannya mahal, Pak Suripto,” keluh Pak Gino, pemilik pohon mangga terbesar di desa. “Kalau dia terus-terusan makan daun mangga saya, nanti saya cuma bisa jual bijinya!”
Pak Suripto terdiam sejenak, lalu berkata, “Kita bisa branding mangganya sebagai ‘Mangga Jerapah’. Lebih mahal harganya, kan?”
Konflik dan Solusi yang Tidak Terduga
Program ini semakin kacau ketika sidat anti-lumut dan jerapah mulai “berkolaborasi” secara tidak terencana. Giraffi, si jerapah, tampaknya memiliki ketertarikan yang aneh terhadap kolam sidat. Ia sering minum dari kolam itu, menyebabkan ikan-ikan sapu-sapu (atau “sidat anti-lumut”) terkejut dan melompat-lompat keluar.
“Pak, ini jerapah malah bikin sidatnya stres!” teriak Bu Tini suatu pagi ketika melihat Giraffi menceburkan kepalanya ke kolam.
Pak Suripto, yang tampak semakin kebingungan, akhirnya mengadakan rapat darurat di balai kelurahan.
“Kita harus menemukan cara agar sidat dan jerapah bisa hidup berdampingan. Ini adalah inovasi kita, dan kita tidak boleh menyerah!” katanya dengan nada dramatis, seperti seorang pahlawan dalam film yang tidak pernah membaca skenario sampai akhir.
Akhirnya, solusi yang diambil adalah membangun “Wisata Edukasi Sidat & Jerapah” di halaman balai kelurahan. Di sini, pengunjung bisa melihat Giraffi dari dekat sambil belajar tentang ikan sapu-sapu yang “disulap” menjadi sidat. Untuk menutupi biaya operasional, kelurahan juga menjual tiket masuk dan suvenir berupa gantungan kunci berbentuk jerapah dan ikan.
Epilog yang Penuh Pelajaran
Meski awalnya terlihat seperti proyek yang akan gagal total, “Wisata Edukasi Sidat & Jerapah” ternyata menjadi daya tarik lokal yang cukup sukses. Anak-anak sekolah sering datang untuk belajar tentang hewan, meskipun mereka lebih sering tertawa melihat Giraffi yang suka menjulurkan lidahnya ke arah pengunjung yang membawa makanan.
Pak Suripto, yang tadinya dianggap terlalu nekat, kini dipuji sebagai kepala kelurahan yang “berani berpikir di luar kotak.”
Namun, ketika ditanya apa rencana inovasi berikutnya, ia hanya menjawab sambil tersenyum, “Mungkin kita bisa coba budidaya alpukat dan flamingo. Kedengarannya keren, kan?”
Dan seperti itulah kehidupan di Kelurahan Suka Sejahtera, di mana ide-ide gila bertemu dengan kenyataan, tetapi selalu menghasilkan kisah yang tak terlupakan.
Ilustration: “A small rural village with a giraffe drinking from a fish pond while confused villagers watch, with a quirky village sign in the background and a banner that reads ‘Sidat & Jerapah Edupark’.”