Guru dan Legenda Sungai Tanpa Buaya

Guru dan Legenda Sungai Tanpa Buaya

Perjalanan Dimulai dengan Harapan Terlampau Tinggi

Pak Jemi, seorang guru geografi yang punya kecenderungan berlebihan untuk mempercayai segala hal yang ia baca di internet, berdiri di tepi Sungai Penuh Legenda. Ia mengenakan topi petualang berwarna khaki, lengkap dengan celana kargo penuh kantong yang hanya berisi permen karet dan pulpen merah. Di sampingnya berdiri Bu Ratna, kolega sekaligus teman seperjalanan yang, jujur saja, lebih khawatir tentang sinyal ponsel daripada misteri sungai itu sendiri.

“Jadi, sungai ini,” kata Pak Jemi dengan nada suara yang entah serius atau hanya terlalu bersemangat, “dikatakan sebagai habitat buaya raksasa yang konon bisa menelan perahu dalam satu gigitan.”

Bu Ratna memeriksa kuku jarinya yang baru saja dipoles. “Atau,” katanya santai, “ini cuma sungai biasa yang diiklankan terlalu berlebihan oleh brosur pariwisata lokal.”

Pak Jemi mendengus. “Itu skeptisisme, Bu Ratna. Skeptisisme adalah musuh penemuan,” katanya sambil menunjuk ke arah sungai dengan gesture dramatis yang hanya membuat seekor burung bangau terbang ketakutan.

Di belakang mereka, rombongan siswa SMA berbaris dengan wajah bosan, beberapa sibuk mengambil selfie, dan sisanya sibuk menghitung berapa banyak waktu yang tersisa sebelum mereka bisa kembali ke bus.

Mitos dan Kenyataan yang Tidak Pernah Bertemu

Sungai Penuh Legenda mendapatkan namanya berkat kisah-kisah yang diwariskan turun-temurun oleh penduduk sekitar. Konon, setiap malam purnama, buaya raksasa akan muncul dari kedalaman sungai, mengaum seperti naga, dan memakan apa saja yang berani mendekatinya. Fakta bahwa tidak ada seorang pun yang sebenarnya pernah melihat buaya itu tidak menghentikan legenda untuk hidup dengan sangat sehat.

“Menurutku, ini semua hanya trik pemasaran,” kata Bu Ratna sambil menggulung lengan bajunya. “Seperti restoran seafood yang memajang akuarium besar, tapi isinya cuma ikan mas koki.”

Pak Jemi menatapnya dengan mata penuh keyakinan. “Bu Ratna, Anda tidak bisa begitu saja mengabaikan warisan budaya. Legenda adalah bagian penting dari identitas kita!”

“Dan bagian penting dari brosur wisata,” gumam Bu Ratna, hampir tak terdengar.

Rombongan itu naik ke perahu kayu yang sudah berusia lebih tua dari kepala sekolah mereka. Pak Jemi, dengan penuh semangat, memimpin di depan, mengarahkan pandangan ke air sungai dengan harapan tinggi bahwa sesuatu akan muncul. Sedangkan di belakang, seorang siswa bernama Andi dengan penuh antusias merekam video TikTok sambil mencoba menyeimbangkan diri di atas perahu.

“Mungkin buaya itu pemalu,” kata Pak Jemi dengan nada serius. “Atau mungkin ia menunggu waktu yang tepat untuk muncul. Legenda mengatakan bahwa buaya raksasa ini hanya muncul pada saat ada bahaya besar.”

Bu Ratna mengangkat alis. “Jadi, kita harus membuat bahaya besar agar dia muncul? Haruskah aku mulai melemparkan anak-anak ke sungai?”

Pak Jemi meliriknya dengan ngeri. “Tentu saja tidak! Kita biarkan alam bekerja sesuai jalannya.”

Penemuan yang Mengejutkan (Tapi Tidak Benar-Benar Menakjubkan)

Setelah dua jam mengarungi sungai yang, sejujurnya, tidak jauh lebih menarik daripada kolam renang umum di pinggiran kota, rombongan akhirnya sampai di sebuah cekungan besar tempat legenda mengatakan buaya raksasa sering terlihat. Pak Jemi berdiri di ujung perahu, matanya tajam seperti seorang peneliti yang mendekati penemuan nobel.

“Tunggu!” katanya tiba-tiba, membuat semua orang di perahu terhenti. “Aku melihat sesuatu bergerak di air!”

Semua orang memandang ke arah yang ditunjuknya, dan seketika suasana menjadi tegang. Bahkan Bu Ratna, yang biasanya tidak pernah terkesan oleh apa pun kecuali diskon belanja, terlihat sedikit penasaran. Air sungai memang beriak, dan sesuatu yang besar tampak bergerak di bawah permukaan.

“Apakah itu… buaya raksasa?” bisik salah satu siswa dengan nada penuh ketakutan.

Pak Jemi mengangguk penuh keyakinan. “Ini dia! Inilah momen yang kita tunggu-tunggu!”

Namun, saat makhluk itu akhirnya muncul ke permukaan, semua orang terdiam. Bukan karena ketakutan, melainkan karena apa yang mereka lihat adalah seekor ikan arapaima yang sangat besar, terlihat bingung dengan perhatian mendadak yang ia terima.

“Ini… hanya ikan,” kata Bu Ratna dengan suara datar.

Pak Jemi tampak seperti seseorang yang baru saja diberitahu bahwa dunia ini hanyalah simulasi komputer. “Tapi… tapi itu tidak masuk akal! Dimana buayanya?”

“Ia mungkin sedang libur,” kata Bu Ratna sambil mengeluarkan ponselnya untuk memotret arapaima itu. “Atau mungkin ia tahu bahwa kita tidak membawa makanan gratis.”

Kesimpulan yang Tidak Puas

Setelah kembali ke daratan, Pak Jemi duduk di bawah pohon dengan wajah penuh kekecewaan. “Aku benar-benar yakin kita akan menemukan sesuatu yang luar biasa,” katanya pelan.

Bu Ratna menepuk bahunya. “Pak Jemi, sungai ini mungkin tidak punya buaya raksasa, tapi lihat sisi positifnya: kita tidak dimakan hidup-hidup hari ini.”

Pak Jemi mendesah. “Itu bukan sisi positif yang aku harapkan.”

Di kejauhan, siswa-siswa terlihat bersorak karena akhirnya bisa kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan ke kota untuk makan siang di restoran cepat saji. Dan sementara itu, arapaima besar di sungai tampaknya sedang memikirkan bagaimana ia bisa menghindari perhatian manusia selama sisa hidupnya.

Sungai Penuh Legenda, seperti namanya, tetap menjadi tempat penuh misteri. Namun, seperti yang dipelajari oleh Pak Jemi hari itu, tidak semua legenda harus nyata untuk memberikan cerita yang bisa diceritakan ulang. Dan tidak semua buaya raksasa harus muncul untuk membuat perjalanan menjadi berkesan.


Illustration: “A disappointed geography teacher in a khaki explorer outfit sitting under a tree by a riverbank, while a giant arapaima fish splashes humorously in the river. The scene is whimsical, with annoyed students in the background and a colleague taking selfies.”