Festival Film Pendek yang Tidak Pernah Selesai

Festival Film Pendek yang Tidak Pernah Selesai

Pendahuluan: Sebuah Festival yang Terlalu Ambisius

Festival Film Pendek Durasi Infinit adalah gagasan brilian (setidaknya menurut panitianya) yang diusulkan oleh sebuah komunitas filmmaker eksperimental bernama Cinemaniacal Collective. Ide mereka sederhana tapi cukup absurd untuk menciptakan kekacauan: mengadakan sebuah festival film pendek di mana setiap filmnya memiliki durasi tak terbatas. “Karena seni sejati tidak dibatasi waktu,” ujar ketua panitia festival, seorang pria dengan kumis berbentuk spiral bernama Budi Arpeggio, dalam konferensi pers pertama mereka.

Namun, seperti semua ide besar yang terdengar brilian pada awalnya, kenyataan memiliki cara unik untuk menghancurkannya, seperti bola bowling yang menghancurkan tumpukan gelas di pesta makan malam.


Babak 1: Teknis yang Terlalu Teknis

Festival ini dimulai di sebuah auditorium kecil di kota terpencil bernama Sukamendung, tempat yang terkenal karena satu-satunya bioskopnya menggunakan proyektor yang masih berbahan bakar minyak tanah. Panitia festival dengan bangga memasang spanduk besar bertuliskan, “Seni Tak Berujung untuk Jiwa Tak Berbatas!” di pintu masuk auditorium.

Film pertama, berjudul Hujan yang Tak Pernah Usai karya seorang seniman avant-garde bernama Siska Pratama, dimulai pada pukul 10 pagi. Film ini menampilkan gambar close-up tetesan air yang jatuh dari daun, diiringi suara erangan sapi yang diputar mundur. “Ini adalah metafora tentang siklus kehidupan,” jelas Siska sambil memakan keripik singkong di sudut ruangan.

Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi: film itu benar-benar tidak memiliki akhir. Ternyata, Siska telah menghubungkan proyektor ke sebuah algoritme AI yang terus-menerus menciptakan adegan baru dari tetesan air dan suara sapi. “Seni adalah proses, bukan produk,” katanya ketika panitia mulai panik.

Jam menunjukkan pukul 7 malam, dan penonton mulai menunjukkan tanda-tanda kegilaan ringan. Seorang pria paruh baya mulai berbicara kepada kursinya sendiri, sementara seorang ibu muda mencoba menyuapi popcorn ke layar. “Ini seni yang terlalu dalam untuk otak saya,” bisiknya.


Babak 2: Ketika Panitia Kehilangan Kendali

Panitia akhirnya memutuskan untuk menghentikan film Siska dengan mematikan proyektor. Namun, film berikutnya, karya seorang sineas muda bernama Joko Vibrato, ternyata juga berdurasi tak terbatas. Film itu berjudul Keabadian di Dalam Kulkas dan menampilkan rekaman slow-motion kubus es yang mencair secara sangat perlahan di atas sepiring nasi goreng. “Ini adalah komentar tentang bagaimana waktu membekukan pengalaman manusia,” jelas Joko, yang kemudian tertidur di kursi VIP karena bosan dengan filmnya sendiri.

Ketika film ini mencapai menit ke-437, seorang anggota penonton berteriak, “Saya hanya ingin tahu siapa yang memakan nasi goreng itu!” Namun, film itu terus berjalan tanpa memberikan jawaban. Penonton mulai keluar satu per satu, meninggalkan auditorium dengan ekspresi kosong seperti orang yang baru saja menyadari bahwa mereka lupa mematikan kompor di rumah.

Di luar auditorium, Pak Suwito, seorang pedagang kopi keliling, mulai menawarkan terapi ringan kepada penonton yang trauma. “Kopi ini bisa membantu Anda melupakan apa yang baru saja Anda lihat,” katanya sambil menyodorkan gelas plastik. “Gratis, asal jangan tanya kulkas itu punya siapa.”


Babak 3: Bencana yang Tak Terhindarkan

Pada hari ketiga festival, panitia akhirnya menyadari bahwa mereka telah menciptakan sesuatu yang benar-benar tidak terkendali. Semua film yang diputar memiliki durasi yang tidak berujung. Bahkan film dokumenter singkat tentang tumbuhan kaktus, yang awalnya hanya berdurasi lima menit, entah bagaimana terus berlanjut dengan menampilkan footage dari kaktus yang tumbuh dalam waktu nyata.

Ketua festival, Budi Arpeggio, mencoba menenangkan situasi dengan memberikan pidato motivasional. “Ingatlah, teman-teman, bahwa seni sejati tidak pernah selesai. Festival ini adalah bukti bahwa kita semua adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.” Namun, pidatonya terhenti ketika salah satu penonton melemparkan bantal ke arah kepalanya.

Keadaan semakin kacau ketika seorang kritikus film terkenal, Pak Bambang Sinematik, menulis ulasan pedas di media lokal. “Festival ini adalah eksperimen yang gagal dengan durasi yang lebih panjang dari resesi ekonomi,” tulisnya. “Satu-satunya hal positif adalah pedagang kopi di luar auditorium.”


Babak 4: Solusi yang Unik

Akhirnya, panitia memutuskan untuk mengakhiri festival dengan cara yang paling tidak konvensional: mereka memotong aliran listrik auditorium. Namun, ini hanya menciptakan masalah baru, karena generator darurat ternyata menyala secara otomatis, membuat film terus berjalan.

Dalam langkah terakhir yang penuh keputusasaan, panitia memutuskan untuk mengalihkan perhatian penonton dengan mengadakan lomba karaoke dadakan. Anehnya, ini berhasil. Penonton yang masih tersisa dengan senang hati bergabung, menyanyikan lagu-lagu klasik seperti Kisah Kasih di Sekolah dan Bento.

Sementara itu, di dalam auditorium, film-film terus berjalan tanpa penonton. Beberapa orang percaya bahwa film-film ini mungkin masih berputar hingga hari ini, menciptakan seni yang tak pernah dilihat oleh siapa pun.


Epilog: Sebuah Pelajaran Berharga

Festival Film Pendek Durasi Infinit menjadi legenda lokal, diceritakan dari generasi ke generasi sebagai peringatan tentang bahaya ambisi artistik yang terlalu besar. Namun, bagi beberapa orang, itu juga menjadi simbol keberanian untuk berpikir di luar batas.

Dan bagi Pak Suwito, pedagang kopi keliling, festival ini adalah momen paling menguntungkan dalam hidupnya. “Orang-orang mungkin lupa filmnya, tapi mereka tidak akan pernah lupa kopi saya,” katanya dengan bangga.


Illustration: “An absurd scene of a small-town film festival audience trapped in a dimly lit auditorium, endlessly watching a surreal film of melting ice cubes, while a coffee vendor outside the venue serves smiling customers. Whimsical and humorous tone.”