Ekspedisi Kapal Bebek dan Penemuan Paling Mengecewakan di Laut Dalam

Ekspedisi Kapal Bebek dan Penemuan Paling Mengecewakan di Laut Dalam

Pengantar yang Tidak Menjanjikan Apa-apa

Ekspedisi ini dimulai, seperti kebanyakan bencana yang luar biasa, dengan sebuah rapat Zoom yang tidak disengaja. Guru Biologi Kelautan kami, Bapak Mahendra P. Santoso, yang lebih akrab disapa Pak Mahen, mengumumkan bahwa kelas kami akan melakukan eksplorasi laut dalam untuk meneliti spesies yang belum ditemukan. “Kita akan membuat sejarah!” katanya dengan suara penuh semangat, seperti seorang motivator yang baru saja memenangkan voucher makan siang gratis.

Kenyataannya, Pak Mahen mengorganisasi ekspedisi ini dengan tingkat ketelitian yang sama seperti seseorang memilih kaus kaki saat lampu mati. Setelah beberapa klik acak di situs penyewaan kapal—yang didesain dengan lebih banyak pop-up daripada situs konspirasi alien—Pak Mahen dengan bangga mengumumkan bahwa ia telah menyewa kapal yang “ideal untuk eksplorasi laut dalam.”

Kami semua berharap sesuatu yang terlihat seperti kapal selam futuristik dengan logo ilmiah di sisinya. Apa yang tiba di pelabuhan keesokan harinya adalah perahu bebek.

Perahu Bebek: Simbol Kegagalan Kolektif

Perahu bebek ini tidak hanya terlihat seperti mainan taman hiburan yang terlalu percaya diri, tetapi juga dilengkapi dengan speaker kecil yang terus memutar musik dangdut remix tanpa henti. Di sisi depan perahu, ada tulisan besar berbunyi “BEBEK MANDIRI 3000,” yang memberi kesan bahwa ini adalah model terbaru dari lini perahu bebek untuk orang-orang yang sangat tidak peduli dengan keselamatan mereka.

“Ini bukan masalah besar,” kata Pak Mahen dengan optimisme yang hampir mengkhawatirkan. “Kita hanya perlu sedikit berimprovisasi.”

Salah satu siswa, Dito, bertanya, “Pak, bagaimana kita akan sampai ke laut dalam dengan pedal? Ini bahkan nggak ada mesin, Pak.”

Pak Mahen tersenyum, lalu dengan bangga menunjukkan pelampung berbentuk unicorn yang dia bawa sebagai “rencana cadangan.”

Petualangan di Laut Dangkal

Kami memulai perjalanan yang, secara teknis, tidak bisa disebut perjalanan. Dengan pedal yang harus kami kayuh bergantian, kami hanya berhasil mencapai jarak sekitar 500 meter dari pantai sebelum semua orang mulai kelelahan. Musik dangdut dari speaker mulai terdengar seperti nyanyian kematian yang ironis.

“Jangan menyerah!” seru Pak Mahen, yang tidak ikut mengayuh sama sekali karena sibuk memegang clipboard dan mencatat hal-hal yang tidak relevan seperti “awan berbentuk kucing.”

Hal yang mengejutkan adalah, meskipun perahu bebek ini jelas tidak dirancang untuk eksplorasi ilmiah, ia ternyata menarik perhatian sekumpulan ikan kecil yang tampaknya bingung kenapa perahu sebesar itu terus berputar-putar di tempat yang sama.

“Ini sudah seperti eksperimen sosiologi laut,” kata Pak Mahen penuh keyakinan. “Kita sedang mengamati dinamika ikan dalam menghadapi objek asing.”

“Pak, mereka cuma lapar,” komentar Dito sambil melempar remah biskuit ke air.

Temuan Misterius yang Tidak Misterius

Setelah beberapa jam mengayuh tanpa tujuan, kami akhirnya menemukan sesuatu yang menarik: sebuah botol kaca tua yang mengapung di air. Pak Mahen memutuskan bahwa ini adalah penemuan besar. “Mungkin ada peta harta karun di dalamnya!” katanya dengan penuh semangat.

Saat botol itu dibuka, ternyata isinya adalah nota belanja dari tahun 1997. Di dalamnya tertulis daftar belanja seperti “mie instan, kopi sachet, dan sabun cuci piring.” Pak Mahen tetap bersikeras bahwa ini adalah “artefak budaya” dan mulai mencatatnya di clipboard.

Namun, momen puncak dari ekspedisi ini terjadi ketika kami melihat sesuatu yang benar-benar besar di bawah air. Semua orang panik, berpikir itu mungkin hiu atau bahkan monster laut legendaris. Ternyata itu adalah ban mobil bekas yang terjebak di karang.

“Ini adalah bukti nyata dampak polusi terhadap ekosistem laut!” seru Pak Mahen dengan antusiasme yang sama seperti seseorang yang baru saja memenangkan lotere.

“Pak, kita cuma nemu sampah, Pak,” kata salah satu siswa dengan nada datar.

Akhir yang Hampir Tragis (Tapi Tidak Jadi)

Saat matahari mulai terbenam, kami menyadari bahwa perahu bebek ini tidak dilengkapi dengan lampu atau alat navigasi. Jadi, kami harus mendayung kembali ke pantai dalam kegelapan, hanya ditemani oleh suara musik dangdut yang semakin mengganggu dan beberapa burung camar yang terus mengejek kami dengan cara mereka sendiri.

Setelah kembali ke pantai, Pak Mahen mengumumkan bahwa ekspedisi itu adalah “kesuksesan besar dalam hal pembelajaran lapangan.” Dia bahkan menyusun laporan resmi yang diberi judul: “Ekspedisi Perintis: Studi Awal Dinamika Laut Dangkal dengan Kendaraan Non-Konvensional.”

Sementara itu, seluruh kelas sepakat bahwa kami tidak akan pernah membiarkan Pak Mahen menyewa apa pun lagi, bahkan payung pantai.

Penutup yang Tidak Menginspirasi

Ekspedisi ini menjadi topik diskusi utama di sekolah selama berminggu-minggu, terutama ketika video perahu bebek kami yang berputar-putar tanpa arah menjadi viral di media sosial dengan judul “Tim Peneliti Paling Tidak Efisien di Dunia.”

Tapi, jika ada pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman ini, itu adalah bahwa bahkan bencana terbesar pun bisa menjadi cerita lucu, selama Anda tidak tenggelam dalam prosesnya. Dan juga, jangan pernah menyewa kapal dari situs web yang memiliki maskot berbentuk kucing memakai helm astronot.


Illustration: “A group of students and a teacher paddling a giant duck-shaped pedal boat in the middle of the ocean, surrounded by confused fish, with a sunset in the background and a playful, humorous vibe.”