Biro Konsultasi Dilema Etis Lintas Waktu

Biro Konsultasi Dilema Etis Lintas Waktu

Awal yang Sedikit Membingungkan

Di sebuah kantor kecil yang terjepit di antara toko roti vegan tanpa pelanggan dan studio yoga yang entah kenapa selalu penuh sesak dengan orang-orang yang tidak terlihat lentur, berdirilah Biro Konsultasi Dilema Etis Lintas Waktu. Nama panjang ini terpampang di kaca jendela depan dalam huruf-huruf emas yang mengelupas. Pendiri biro tersebut, seorang pria bernama Pak Darmanuel “Darma” Prasojo, adalah seseorang yang tampaknya selalu mengenakan kemeja yang terlalu besar untuk tubuhnya, dengan dasi yang tidak pernah lurus. Ia adalah orang yang, dalam sepuluh menit pertama perkenalan, akan membuat Anda bertanya-tanya apakah ia adalah seorang jenius etika atau sekadar pria yang sangat bingung.

“Selamat datang di Biro Konsultasi Dilema Etis Lintas Waktu,” katanya dengan suara yang penuh semangat namun tidak meyakinkan, “Kami di sini untuk membantu Anda menemukan jawaban atas pertanyaan moral yang Anda bahkan tidak tahu Anda miliki… kapan pun itu terjadi!”

Kata ‘kapan pun’ di sini bukan sekadar bumbu pemasaran. Biro ini benar-benar menerima kasus dari seluruh penjuru waktu, baik dari masa lalu maupun masa depan, selama, tentu saja, klien tersebut memiliki alat komunikasi kronologis yang dapat menjangkau abad ke-21. Pak Darma sendiri mengklaim bahwa alat canggih ini adalah hasil dari “penemuan tak sengaja” pada malam ia mencoba memasak telur rebus di dalam microwave sambil membenahi jam tua milik neneknya.

Teknologi itu, yang kini disebut ChronoCall 3000, berbentuk seperti telepon putar biasa tapi dengan tombol tambahan bertuliskan “TAHUN” di samping angka. Satu-satunya masalah adalah, telepon ini sering kali salah menangkap pesan, sehingga alih-alih menerima konsultasi dari seorang filsuf Yunani kuno, mereka malah mendengar curhatan tentang masalah cinta dari seorang petani abad ke-18.

Kasus Hari Itu: Raja dan Robot Tukang Kebun

Suatu pagi yang cerah, ChronoCall 3000 berbunyi dengan nyaring. Pak Darma, yang baru saja menumpahkan kopinya di atas laporan lama berjudul “Apakah Harus Memberi Tip pada Pelayan di 3021?”, dengan tergesa-gesa mengangkat gagang telepon.

“Selamat pagi! Dilema apa yang bisa kami bantu hari ini?” tanyanya riang.

Dari ujung telepon, terdengar suara yang sangat formal. “Ini adalah Raja Alfonsius VIII dari Kerajaan Tanjung Cengkir, tahun 1347. Kami memiliki situasi yang membutuhkan pencerahan etis.”

“Oh, tentu saja, Yang Mulia,” jawab Pak Darma, mencoba terdengar lebih profesional dengan merapikan dasinya yang, tentu saja, masih miring. “Silakan ceritakan.”

Raja Alfonsius menjelaskan bahwa ia baru saja menerima hadiah berupa sebuah robot tukang kebun dari seorang “penjelajah waktu misterius”. Robot ini, yang disebut H.O.R.A.C.E. (Horticultural Optimization and Rapid Agricultural Cultivation Engine), telah berhasil meningkatkan hasil panen kerajaan hingga sepuluh kali lipat dalam waktu satu bulan. Namun, ada masalah besar: para petani kerajaan kini kehilangan pekerjaan mereka dan memprotes bahwa keberadaan H.O.R.A.C.E. menciptakan ketidakadilan sosial.

“Dilema saya adalah,” kata Raja Alfonsius dengan nada penuh tekanan, “apakah saya harus membuang H.O.R.A.C.E. demi memulihkan pekerjaan para petani, atau tetap mempertahankannya untuk masa depan kerajaan yang lebih makmur?”

Pak Darma mengangguk serius (meskipun Raja tidak bisa melihatnya). “Hmm… ini adalah dilema moral klasik tentang teknologi dan dampaknya pada masyarakat. Saya akan mencatatnya sebagai ‘Kasus Robot Tukang Kebun Abad Pertengahan’. Tunggu sebentar, Yang Mulia.”

Ia menutup telepon sementara dan memanggil asistennya, seorang wanita muda bernama Lila, yang memiliki bakat luar biasa dalam membuat secangkir teh yang lebih efektif daripada lima jam tidur.

“Lila, kita punya kasus besar di sini. Robot tukang kebun di abad ke-14. Apa pendapatmu?”

Lila, yang sedang mengoleskan selai kacang pada roti bakar, mengangkat alis. “Kedengarannya seperti versi awal dari masalah otomatisasi modern. Tapi, serius, Darma, mereka bahkan belum punya traktor, kenapa sudah ada robot?”

“Itu poin yang bagus,” jawab Pak Darma, sambil mencoret-coret sesuatu di buku catatan. “Tapi, kita harus fokus pada aspek moralnya.”

Solusi yang Tak Terduga

Setelah beberapa jam diskusi, brainstorming, dan perdebatan tentang apakah robot juga punya hak asasi, Pak Darma akhirnya menghubungi kembali Raja Alfonsius.

“Yang Mulia, setelah analisis mendalam, kami memiliki dua opsi. Pertama, Anda bisa mengintegrasikan H.O.R.A.C.E. ke dalam masyarakat dengan melatih para petani untuk mengoperasikan dan memeliharanya. Dengan begitu, mereka tetap memiliki pekerjaan, meskipun pekerjaan itu berbeda.”

“Hmm, menarik,” gumam Raja Alfonsius. “Dan opsi kedua?”

“Opsi kedua adalah mengadakan kompetisi berkebun antara H.O.R.A.C.E. dan para petani. Jika para petani menang, mereka mendapatkan kembali pekerjaan mereka. Jika H.O.R.A.C.E. menang, para petani harus belajar bercocok tanam secara lebih efisien. Ini tidak hanya adil, tetapi juga sangat menghibur!”

Raja Alfonsius terdengar sangat antusias dengan opsi kedua. “Luar biasa! Saya suka ide kompetisi ini. Rakyat saya suka hiburan, dan ini akan menjadi tontonan yang luar biasa!”

Dan dengan itu, masalah diselesaikan. Kompetisi tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Turnamen H.O.R.A.C.E., menjadi peristiwa tahunan yang sangat dinantikan di Kerajaan Tanjung Cengkir. Robot dan manusia bekerja sama, meskipun terkadang ada sedikit sabotase (seperti ketika seorang petani mencoba menyiram H.O.R.A.C.E. dengan minyak goreng).

Epilog yang Sedikit Absurd

Setelah menutup telepon, Pak Darma merasa sangat puas dengan pekerjaannya. Ia menatap Lila dan berkata, “Kau tahu, Lila, suatu hari nanti, orang-orang akan mengenang biro ini sebagai penyelamat moralitas lintas waktu.”

Lila mengangguk sambil menyesap tehnya. “Atau sebagai alasan kenapa ada robot tukang kebun di lukisan abad pertengahan.”

Dan di luar sana, di sudut kecil dunia abad ke-21 ini, Biro Konsultasi Dilema Etis Lintas Waktu tetap beroperasi, dengan segunung kasus aneh yang terus berdatangan.


Prompt DALL-E: “A quirky and messy office with an eccentric man wearing a crooked tie, sitting next to an antique rotary phone labeled ‘ChronoCall 3000’, while a young assistant drinks tea in the background. The scene is filled with funny time-related props like an hourglass and mismatched clocks.”