Biro Jodoh untuk Ide dan Pelaksana

Biro Jodoh untuk Ide dan Pelaksana

Prolog: Ketika Ide dan Pelaksana Tidak Lagi Saling Pandang

Di dunia yang semakin sibuk ini, ada masalah mendasar yang sering diabaikan oleh para pemikir besar (atau kecil, tergantung pada perspektif mereka terhadap cermin di kamar mandi): ide-ide brilian sering kali terjebak di kepala orang-orang yang tidak tahu cara mengeksekusinya. Sebaliknya, ada juga pelaksana-pelaksana ulung yang begitu bersemangat hingga mereka sanggup membangun menara Eiffel di halaman belakang, tetapi tidak tahu harus memulai dari mana karena mereka kehabisan ide—atau lebih tepatnya, tidak pernah punya ide.

Di sinilah “Cupid Konseptual dan Koordinator” (disingkat CuKoKo, nama yang entah bagaimana lolos dari proses branding), sebuah biro jodoh untuk menyatukan ide dan pelaksana, muncul ke permukaan. Dengan moto “Karena Ide Butuh Tangan, dan Tangan Butuh Ide,” CuKoKo beroperasi dari sebuah kantor mungil di atas toko donat yang hampir selalu kehabisan topping cokelat.

Kantor CuKoKo: Tempat Segalanya Dimulai (dan Hampir Tidak Pernah Selesai)

Hari itu, CuKoKo tampak seperti biasanya: penuh dengan orang-orang yang tampaknya tidak tahu mengapa mereka ada di sana. Di satu sudut, seorang lelaki berkemeja kotak-kotak sedang memegang kertas bertuliskan “IDE: Sepatu yang Bisa Memasak Mie Instan” sambil menatap pelaksana potensial yang terlihat seperti baru saja bangun dari tidur panjang.

Di meja utama, seorang resepsionis bernama Ibu Lestari—yang tampak seperti orang terakhir di dunia yang percaya pada konsep jodoh apa pun—sedang mengetik dengan keras, meskipun tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ia ketik. Tepat di atasnya, ada papan pengumuman berisi daftar pasangan sukses yang pernah dijodohkan CuKoKo:

  • Ide: “Tanaman Hias yang Bisa Bernyanyi” dengan Pelaksana: Pak Budi “Suhu Audio”
  • Ide: “Payung Anti Hujan” dengan Pelaksana: Tina “Insinyur Terbalik”
  • Ide: “Lampu Tidur dengan Alarm Menyanyi Opera” dengan Pelaksana: Jerry “Penggemar Mozart yang Kurang Tidur”

Namun, tidak semua pasangan berhasil. Di pojok lain, ada papan kecil bertuliskan “Zona Gagal” yang memuat kisah-kisah tragis seperti:

  • Ide: “Es Krim Rasa Pempek” (Pelaksananya menyerah setelah tiga percobaan dan muntah-muntah selama seminggu).
  • Ide: “Jaket yang Bisa Menyetrum Orang yang Tidak Disukai” (Dihentikan oleh polisi sebelum prototipe selesai).

Pertemuan Tak Terduga: Ide yang Terlalu Ambisius

Pintu kantor CuKoKo tiba-tiba terbuka dengan bunyi lonceng yang terlalu keras untuk ukurannya, dan masuklah seorang pria muda berkacamata tebal bernama Luki. Ia tampak seperti seseorang yang telah menghabiskan terlalu banyak waktu di perpustakaan tanpa benar-benar membaca buku apa pun.

“Saya punya ide!” teriaknya, dengan nada antusias seperti seseorang yang baru saja menemukan bahwa ia memenangkan undian yang sebenarnya tidak pernah ia ikuti.

Ibu Lestari menatapnya dengan datar. “Semua orang di sini punya ide, Nak. Kalau tidak, mereka tidak akan datang.”

“Ah, tapi ide saya berbeda!” katanya, memperbaiki kacamatanya dengan gaya dramatis. “Saya ingin menciptakan mesin yang bisa membaca pikiran kucing.”

Ruangan itu menjadi hening. Bahkan lelaki dengan ide sepatu mie instan berhenti berbicara untuk menatap Luki.

Ibu Lestari menghela napas panjang, seperti seseorang yang sudah pernah mendengar semuanya, termasuk permintaan untuk menciptakan pancake yang tidak pernah gosong. “Baiklah. Tunggu sebentar,” katanya, mengetik sesuatu di komputer.

Setelah beberapa menit, ia memanggil seorang pelaksana bernama Pak Riko. Pak Riko adalah seorang pria berumur setengah baya dengan rambut acak-acakan dan tangan yang selalu ada bekas lem atau cat. Ia terkenal karena pernah membuat kursi yang, jika diduduki terlalu lama, bisa membuat seseorang tiba-tiba mengingat semua keputusan buruk dalam hidupnya.

“Pak Riko, ini Luki. Dia ingin Anda membantunya menciptakan mesin yang bisa membaca pikiran kucing,” kata Ibu Lestari, tanpa sedikit pun perubahan nada di suaranya.

Pak Riko menatap Luki dengan ekspresi skeptis, seperti seseorang yang diminta membuat jembatan dari marshmallow.

“Jadi, kenapa Anda berpikir bahwa kita perlu membaca pikiran kucing?” tanya Pak Riko akhirnya.

Luki tersenyum lebar. “Karena kita selalu bertanya-tanya apa yang mereka pikirkan, kan? Bayangkan jika kita bisa tahu! Kita bisa memecahkan misteri terbesar umat manusia!”

Pak Riko mengerutkan kening. “Misteri terbesar umat manusia adalah kenapa kita masih membayar pajak untuk jalan yang tidak pernah diperbaiki.”

Twist: Ketika Pelaksana Menjadi Penentu

Setelah diskusi yang panjang dan penuh dengan istilah teknis yang bahkan tidak dimengerti oleh para penggunanya, mereka mulai bekerja. Namun, perjalanan mereka dipenuhi dengan tantangan. Setiap kali mereka mencoba membaca pikiran kucing, mereka hanya mendapatkan sinyal berupa gambar ikan dan suara mendesis.

Pada akhirnya, Pak Riko menyerah. “Luki, saya tidak yakin ini ide yang bisa kita wujudkan. Tapi saya punya ide lain,” katanya, sambil menatap Luki dengan serius.

“Apa itu?” tanya Luki, penasaran.

“Kita buat saja mesin yang bisa membuat manusia berpikir seperti kucing. Jauh lebih mudah, dan kita tidak perlu repot membaca pikiran mereka. Lagipula, siapa yang tidak ingin hidup santai seperti kucing?”

Luki terdiam, merenungkan ide itu. “Anda tahu apa? Itu ide yang lebih baik.”

Dan begitulah, CuKoKo mencatat pasangan sukses lainnya: Ide “Mesin untuk Membaca Pikiran Kucing” dengan Pelaksana yang menjadikannya “Mesin untuk Membuat Manusia Berpikir Seperti Kucing.”

Hasil akhirnya? Mesin itu menjadi sangat populer di kalangan orang stres, meskipun ada laporan bahwa beberapa pengguna mulai mendesis pada bos mereka di kantor.


Prompt Gambar: “An absurdly small office with quirky characters, a man holding a paper labeled ‘Mind-reading machine for cats’, and a craftsman covered in glue and paint looking skeptical. A bulletin board lists failed and successful ideas, including ‘Ice cream that tastes like fish’ and ‘Singing plants’.”