Prolog: Sebuah Kantor yang Tidak Disangka-sangka
Di salah satu sudut kota yang paling tidak menarik perhatian – tepat di antara warung yang menjual mi instan premium dengan harga yang menggelikan dan toko bunga yang hanya menjual kaktus – berdiri sebuah kantor kecil dengan papan nama yang, entah bagaimana, tampaknya sengaja didesain untuk membuat orang berpaling. Papan itu bertuliskan: Biro Jasa Penyelesaian Teka-teki Eksistensial.
Tidak ada yang tahu siapa yang mendirikan biro ini. Bahkan, ada desas-desus bahwa biro ini tidak pernah benar-benar ada, melainkan hanya muncul ketika seseorang terlalu lelah untuk berpikir tapi terlalu penasaran untuk menyerah. Namun, jika seseorang cukup berani, atau cukup bingung, untuk masuk, mereka akan menemukan ruangan kecil dengan lampu neon yang berkedip-kedip, sofa yang tampaknya pernah menjadi saksi sejarah kolonialisme, dan seorang pria bernama Tigor.
Tigor adalah satu-satunya pegawai biro ini. Dia mengenakan jas yang terlalu besar untuk badannya, dasi yang tampaknya diikat oleh seseorang yang tidak pernah melihat dasi sebelumnya, dan memiliki ekspresi wajah yang bisa digambarkan sebagai “campuran antara kebosanan dan kebingungan.” Wajah itu, menurut banyak orang, adalah bentuk seni abstrak yang hidup.
Bab 1: Kasus Kepingan Kue yang Hilang
Pagi itu, Tigor sedang duduk di mejanya, sibuk menatap secangkir kopi yang dia yakini sedang mencoba berbicara dengannya. Kopi itu tidak benar-benar berbicara, tentu saja, tapi Tigor memiliki teori bahwa jika dia menatapnya cukup lama, setidaknya dia akan mendapatkan semacam pencerahan. Saat itulah pintu terbuka dengan bunyi kriiieet yang terlalu dramatis untuk pintu yang sudah berumur.
Seorang wanita masuk, membawa aura kegelisahan yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang baru saja menyadari bahwa hidupnya mungkin adalah lelucon kosmik. “Apakah ini tempat untuk… menyelesaikan teka-teki eksistensial?” tanyanya ragu-ragu.
Tigor mengangkat alisnya. “Tentu saja. Kami adalah yang terbaik di bidang ini. Sejauh yang saya tahu, kami juga satu-satunya. Apa masalahnya?”
Wanita itu duduk dan mulai bercerita. “Saya merasa… hidup saya kehilangan makna. Tapi anehnya, saya pikir ini semua dimulai ketika saya kehilangan setengah kepingan kue dari toples saya. Itu bukan kue biasa, Tuan Tigor. Itu kue yang, menurut saya, adalah metafora untuk seluruh keberadaan saya.”
Tigor mengangguk. “Ah, kasus klasik. Kehilangan makna hidup akibat kue yang hilang. Ini sebenarnya lebih umum daripada yang Anda pikirkan. Sebentar…” Dia mengambil buku catatan yang sudah usang dan mulai mencatat dengan serius. “Kue yang hilang, metafora kehidupan, ya, ya… Apa Anda yakin itu bukan tikus? Tikus adalah metafora yang cukup kuat juga, meskipun sedikit ofensif.”
“Tentu saja bukan tikus!” wanita itu berseru. “Saya rasa ini lebih… rumit. Saya merasa kue itu adalah bagian dari teka-teki besar yang tidak pernah saya pahami.”
Tigor menatap wanita itu dengan pandangan yang, jika dilihat dari sudut tertentu, bisa dianggap sebagai bentuk simpati. “Baiklah. Ini mungkin memerlukan pendekatan multi-faset. Pertama, kita akan mengeksplorasi apakah kehilangan kue ini adalah manifestasi dari ketakutan terdalam Anda terhadap kefanaan. Kedua, kita akan memeriksa toples Anda untuk memastikan bahwa Anda tidak hanya menghitung dengan buruk. Dan ketiga, kita akan mencoba mencari tahu apakah ada kue lain yang mungkin menggantikan metafora ini dengan lebih baik. Misalnya, saya pribadi merasa pai apel lebih bermakna.”
Bab 2: Investigasi Filosofis
Tigor membuka laci mejanya dan mengeluarkan alat yang, menurut deskripsi resminya, adalah “Pemindai Kebingungan Eksistensial Model 3000”. Alat ini terlihat seperti campuran antara remote TV kuno, blender, dan sesuatu yang mungkin diciptakan oleh seorang ilmuwan mabuk. Dia mengarahkan alat itu ke arah wanita tersebut.
“Hmm,” gumam Tigor sambil menatap layar kecil di alat itu. “Ini menarik. Anda memiliki tingkat kebingungan eksistensial yang cukup tinggi, dengan sedikit elemen neurotik akibat kehilangan kue. Tapi jangan khawatir, Anda berada di tangan yang tepat.”
Wanita itu tampak tidak yakin apakah harus merasa lega atau tidak.
Tigor berdiri. “Baiklah, mari kita mulai dengan pertanyaan mendasar. Apakah Anda percaya bahwa hidup memiliki tujuan, atau apakah Anda lebih cenderung berpikir bahwa kita semua hanya bagian dari lelucon besar yang dimainkan oleh alam semesta?”
Wanita itu terdiam. “Saya… tidak tahu. Tapi saya merasa kehilangan kue itu adalah semacam pesan. Seolah-olah alam semesta mencoba memberi tahu saya sesuatu.”
“Ah, itu dia!” seru Tigor dengan semangat yang tampaknya terlalu berlebihan untuk seseorang yang baru saja mendengar tentang kue. “Ini adalah kasus klasik di mana seseorang memproyeksikan kecemasan hidupnya ke objek yang tampaknya tidak penting. Tapi jangan khawatir, kita akan menemukan jawaban untuk Anda.”
Bab 3: Solusi yang Tidak Terduga
Setelah beberapa jam investigasi yang melibatkan diskusi panjang tentang metafora, simbolisme, dan beberapa teori tentang apakah kue itu sebenarnya ada di dimensi lain, Tigor akhirnya menemukan jawabannya. Itu, seperti yang dia jelaskan dengan sangat meyakinkan, adalah “kesenjangan eksistensial yang tercipta dari harapan yang tidak realistis.”
“Apa maksud Anda?” tanya wanita itu.
Tigor tersenyum (atau mungkin hanya mengerutkan wajahnya dengan cara yang aneh). “Maksud saya, mungkin kue itu hilang bukan karena alasan kosmik, tapi karena Anda terlalu sibuk mencari makna di tempat yang salah. Kadang-kadang, makna hidup bukanlah sesuatu yang Anda temukan di toples kue, tapi sesuatu yang Anda buat sendiri, di dapur Anda, dengan resep baru.”
Wanita itu terdiam, merenungkan kata-kata itu. “Jadi… Anda menyarankan agar saya membuat kue baru?”
“Lebih dari itu,” kata Tigor dengan nada yang hampir filosofis. “Saya menyarankan agar Anda berhenti mencari makna hidup di tempat-tempat yang sudah ada dan mulai menciptakan makna Anda sendiri. Plus, kalau Anda membuat kue baru, saya bisa mencicipinya.”
Wanita itu tersenyum (untuk pertama kalinya sejak dia masuk). “Baiklah, Tuan Tigor. Saya akan mencoba.”
Dan dengan itu, dia pergi, meninggalkan Tigor sendirian di kantornya, menatap cangkir kopi yang sekali lagi tampaknya mencoba berbicara.
Prompt untuk DALL-E: A quirky small office with a neon sign that says “Existential Puzzle Bureau” in a bustling urban setting, featuring an eccentric man in an oversized suit, a mysterious woman holding a cookie jar, and an odd-looking gadget on the desk.