Biro Jasa Pencarian Kebetulan yang Hilang

Biro Jasa Pencarian Kebetulan yang Hilang

Perkenalan Biro yang (Entah Bagaimana) Wajar

Di sebuah gedung tua yang diapit oleh kafe vegan yang terlalu mahal dan toko barang antik yang seolah menjual debu dengan harga premium, ada sebuah kantor kecil dengan papan nama yang bertuliskan “Biro Jasa Pencarian Kebetulan yang Hilang.” Ini adalah tempat di mana logika, kebetulan, dan secangkir teh Earl Grey bertemu untuk berdiskusi tentang siapa yang akan membayar tagihannya.

Biro ini didirikan oleh seorang pria bernama Muktar Sumantrio, yang percaya bahwa kebetulan adalah salah satu aset paling undervalued dalam kehidupan modern. Dengan kata lain, ia yakin bahwa kebetulan memiliki nilai pasar yang lebih tinggi daripada saham perusahaan teknologi yang menjual sikat gigi pintar.

“Ketika Anda kehilangan dompet, Anda pergi ke polisi. Ketika Anda kehilangan cinta sejati, Anda pergi ke psikolog. Tetapi ketika Anda kehilangan kebetulan—seperti bertemu dengan orang asing yang ternyata adalah teman lama Anda di lift hotel di Meksiko—ke mana Anda pergi? Ke sini,” jelas Muktar dengan nada yang seolah-olah penjelasannya masuk akal, meskipun tidak.

Cara Kerja yang Menantang Akal Sehat

Cara kerja biro ini cukup sederhana, setidaknya dalam teori. Klien datang dengan cerita tentang kebetulan yang hilang, misalnya: “Sepuluh tahun lalu, saya bertemu seorang pria yang memberi saya buku matematika kuno. Saya yakin itu adalah tanda bahwa saya ditakdirkan menjadi ahli teori chaos, tapi sekarang saya bahkan tidak bisa menghitung diskon belanjaan.” Kemudian Biro akan mulai bekerja.

Dalam praktiknya, sistem ini seperti mencoba mengikat balon helium ke seekor kucing dan berharap ia terbang ke bulan. Tim Biro tidak menggunakan teknologi mutakhir atau perangkat canggih. Sebaliknya, mereka mengandalkan tiga hal: intuisi, buku catatan tua yang penuh coretan aneh, dan satu perangkat lunak komputer yang hanya bisa menjalankan Minesweeper.

Muktar memiliki dua karyawan tetap. Yang pertama adalah Lila, seorang wanita muda yang memiliki bakat luar biasa untuk mengingat setiap nomor telepon yang pernah dilihatnya, tetapi tidak tahu cara memasak mie instan tanpa membakar dapur. Yang kedua adalah Armand, mantan penjual asuransi yang memiliki suara seperti narator film dokumenter dan kebiasaan makan biskuit jahe dengan cara yang sangat dramatik.

Lila bertugas mencari pola. “Kebetulan, seperti bintang-bintang di langit, memiliki konstelasi,” katanya sambil menggambar diagram tak berbentuk di papan tulis. Armand, di sisi lain, berspesialisasi dalam “rekonstruksi kebetulan,” yang pada dasarnya melibatkan duduk di sudut ruangan sambil menggumamkan sesuatu tentang probabilitas kuantum dan pentingnya susu kental manis dalam teh tarik.

Kasus yang Tidak Mungkin: Kebetulan dan Sepatu Hijau

Suatu hari, seorang pria bernama Suryo datang ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu yang terlalu besar dan sepatu hijau terang yang tampak seperti hasil dari eksperimen mode yang gagal. “Saya kehilangan kebetulan terbesar dalam hidup saya,” katanya dengan nada serius.

Muktar, yang saat itu tengah sibuk mencoba memperbaiki printer biro (yang secara kebetulan hanya mencetak puisi limerik), mengangguk dengan bijak. “Ceritakan lebih banyak.”

“Sepuluh tahun lalu, saya berjalan di taman ketika seorang wanita datang kepada saya. Ia membawa tas belanjaan yang penuh dengan jeruk. Ia tersandung, dan jeruk-jeruknya berguling ke arah saya. Kami tertawa, dan dia mengatakan sesuatu tentang bagaimana hidup adalah seperti jeruk—bulat dan terkadang asam. Tapi saya terlalu gugup untuk meminta nomor teleponnya. Saya yakin bahwa hidup saya akan berbeda jika saya melakukannya.”

“Hmm,” gumam Lila, sambil mencatat sesuatu di buku catatannya. “Ini kebetulan klasik yang hilang. Apakah Anda masih ingat taman itu?”

“Tentu saja,” kata Suryo. “Tapi saya sudah mencarinya selama bertahun-tahun, dan dia tidak pernah kembali.”

Armand, yang duduk di sudut dengan secangkir teh yang mengepul, tiba-tiba berbicara. “Apakah Anda ingat warna tas belanjaannya?”

“Ya, itu biru terang.”

Armand mengangguk dengan ekspresi seperti seorang filsuf Yunani yang baru saja menemukan jawaban untuk segala pertanyaan. “Saya pikir ini adalah kasus di mana kebetulan tidak hilang. Ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali.”

Muktar memutuskan bahwa tim harus pergi ke taman itu untuk menyelidiki. Ini adalah keputusan yang sangat tidak biasa, mengingat kebanyakan kasus diselesaikan tanpa meninggalkan kantor, kecuali dalam keadaan darurat seperti kehabisan gula untuk teh.

Akhir yang Absurd Tapi Memuaskan

Ketika mereka tiba di taman, Suryo berjalan perlahan, matanya mencari-cari tanda-tanda masa lalu. Lila mencatat setiap detail kecil, mulai dari warna daun hingga pola langkah anjing-anjing yang lewat. Armand, sementara itu, memutuskan untuk membeli es krim stroberi, karena ia percaya bahwa es krim adalah alat investigasi yang diremehkan.

Dan kemudian, hampir seperti dalam sebuah film yang terlalu sentimental untuk ditonton tanpa tisu, seorang wanita dengan tas belanjaan biru terang muncul. Ia membawa jeruk. Ia tersandung. Jeruk-jeruknya berguling ke arah Suryo.

“Lihat!” teriak Lila. “Kebetulan telah kembali!”

Suryo, kali ini lebih percaya diri, membantu wanita itu mengumpulkan jeruk-jeruknya. Mereka mulai berbicara, dan ternyata ia juga mengingat kejadian sepuluh tahun lalu. Mereka tertawa, dan Suryo akhirnya meminta nomor teleponnya.

Ketika tim Biro kembali ke kantor, Muktar tersenyum puas. “Hari lain lain, kebetulan lain ditemukan,” katanya. Printer biro, seperti seperti memahami momen itu, mencetak sebuah limerik yang berbunyi:

“Di taman, jeruk bergulir,
Kisah lama kembali terurai.
Kebetulan tak hilang,
Ia hanya sembunyi sayang,
Menunggu waktu yang tepat untuk mulai.”

Dan begitulah, Biro Jasa Pencarian Kebetulan yang Hilang melanjutkan pekerjaannya, membuktikan bahwa bahkan dalam dunia yang tampaknya tanpa arah, kebetulan masih memiliki tempatnya.


Prompt untuk DALL-E: A whimsical illustration of a small, quirky detective agency office with a vintage vibe, surrounded by odd objects like a board full of chaotic scribbles, a dusty bookshelf, and a computer running Minesweeper. A man in a suit with bright green shoes sits nervously, while two investigators (a woman with a notepad and a man holding a teacup) discuss a case involving oranges.