Prolog: Ketika Liburan Sekolah Jadi Misi Misterius
Kisah ini dimulai dengan kelas kami, yang diisi oleh sekelompok remaja penuh semangat—atau lebih tepatnya, sekelompok anak yang terjebak dalam rutinitas membosankan dan hanya ingin pulang untuk bermain gim daring. Namun, liburan sekolah kali ini, guru kami, Pak Arif, memutuskan untuk membawa kami ke Transylvania. Bukan untuk wisata biasa, tentu saja. Dia bertekad memimpin kami dalam “ekspedisi edukatif” untuk mempelajari… vampir.
Ya, vampir. Makhluk penghisap darah yang, menurut Pak Arif, adalah “simbol budaya yang diremehkan.”
Namun, ada satu masalah. Pak Arif punya ketakutan luar biasa terhadap gelap, yang, mari kita akui, adalah hal yang sedikit kontraproduktif jika Anda berencana berburu makhluk nokturnal yang hanya muncul di malam hari. Tapi, tentu, dia tidak menyebutkan detail ini sebelum pesawat kami mendarat di Romania.
Hari Pertama: “Hotel Adalah Tempat Teraman, Kata Pak Arif”
Setibanya di Transylvania, kami segera dibawa ke sebuah hotel tua yang tampak seperti kastil kecil—lengkap dengan gargoyle di atap dan seorang penjaga pintu yang berbicara dalam aksen yang membuat setiap kalimat terdengar seperti ancaman terselubung. Pak Arif, yang jelas-jelas merasa tidak nyaman, mengumumkan bahwa “kita harus memulai penelitian dari tempat yang paling aman dan strategis.”
Tentu saja, “tempat yang paling aman dan strategis” itu adalah ruang lobi hotel, dengan pencahayaan neon terang dan mesin penjual otomatis yang menjual keripik rasa bawang putih. “Bawang putih, anak-anak,” kata Pak Arif dengan wajah serius. “Senjata paling ampuh melawan vampir.”
Kami mengangguk, meskipun jelas bahwa tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar percaya bahwa vampir itu nyata. Bagaimanapun, kami anak-anak era internet—hal seperti itu tidak masuk akal. Tapi, hei, jika itu berarti kami bisa menghindari trekking di hutan gelap pada malam hari, kami cukup senang mematuhi perintahnya.
Malam Kedua: Teori Vampir dan Pizza yang Hilang
Pak Arif, yang sekarang sepenuhnya mengandalkan Wikipedia untuk “penelitiannya,” memutuskan bahwa kami harus mendiskusikan teori tentang vampir di ruang makan hotel sambil makan malam. Dia dengan antusias mempresentasikan diagram lingkaran yang menggambarkan hubungan antara vampir, kelelawar, dan… penurunan populasi lebah?
“Vampir tidak hanya menghisap darah manusia,” jelasnya sambil menunjuk diagram dengan spidol merah. “Mereka juga mungkin bertanggung jawab atas krisis ekologis global!”
Sementara itu, pizza kami tiba, dan kami dengan cepat menyadari bahwa satu potong hilang. Ketika kami mengeluh kepada pelayan, dia hanya tersenyum misterius dan berkata, “Mungkin… seseorang sudah mengambilnya.”
“Ini bukti!” seru Pak Arif. “Mereka ada di sini!”
Tentu saja, tidak seorang pun dari kami yang percaya bahwa vampir mencuri pizza. Tapi sekali lagi, siapa yang tahu? Mungkin vampir juga punya selera terhadap keju mozzarella.
Malam Ketiga: Penemuan yang Mengejutkan
Malam itu, kami akhirnya berhasil menyeret Pak Arif keluar dari hotel untuk melihat “medan penelitian.” Kami mengenakan jaket tebal, membawa senter, dan, atas perintah Pak Arif, kantong penuh bawang putih mentah. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang harus dilakukan dengan bawang putih itu—apakah dilemparkan ke vampir? Dihaluskan dan dioleskan ke kulit seperti tabir surya? Tidak ada instruksi yang jelas.
Kami tiba di sebuah hutan kecil, yang entah bagaimana lebih gelap daripada ruang bawah tanah sekolah kami. Pak Arif gemetar hebat, tapi dia mencoba mempertahankan wibawa dengan mengutip puisi tentang malam. Itu aneh, tapi cukup menghibur.
Dan kemudian kami mendengar suara aneh. Itu bukan suara kelelawar, atau angin, atau bahkan hewan liar. Itu suara… seseorang yang batuk? Kami menoleh, dan di tengah hutan, kami melihat seorang pria tua dengan jubah hitam panjang, memegang cangkir teh.
“Oh, maaf, saya mengganggu?” tanyanya sopan.
Pak Arif menjerit, menjatuhkan senter, dan lari ke arah hotel tanpa menoleh ke belakang. Kami, di sisi lain, terlalu terkejut untuk bergerak.
Pria itu mengangkat cangkir teh dan tersenyum. “Saya cuma keluar untuk udara segar. Teh herbal bagus untuk kesehatan, Anda tahu? Dan, tidak, saya bukan vampir, kalau itu yang kalian pikirkan.”
Kami hanya menatapnya. Bagaimana Anda merespons pernyataan seperti itu?
Epilog: Penelitian yang Tidak Meyakinkan
Kami kembali ke hotel dengan Pak Arif yang masih pucat pasi dan sekarang sepenuhnya yakin bahwa kami “hampir diculik oleh vampir.” Dia menghabiskan sisa perjalanan dengan menulis laporan yang sangat dramatis tentang pengalaman itu, lengkap dengan ilustrasi vampir imajiner yang mencuri pizza.
Kami, di sisi lain, hanya bersyukur bahwa perjalanan itu hampir selesai. Ketika ditanya oleh guru lain apa yang kami pelajari, kami menjawab dengan jujur:
“Bahwa bawang putih mentah tidak punya kegunaan nyata, pizza lebih berharga daripada yang kita kira, dan bahwa ketakutan terhadap gelap adalah alasan yang sangat buruk untuk berburu vampir.”
Dan itulah akhir dari “ekspedisi edukatif” kami. Pak Arif akhirnya memutuskan untuk tetap mengajar sejarah lokal, kami kembali ke rutinitas sekolah, dan pria dengan cangkir teh mungkin masih di hutan, menikmati udara segar.
Prompt DALL-E: A humorous illustration of a terrified teacher holding garlic while running away from a polite old man with a cup of tea in a dark Transylvanian forest.