Batu Bernyanyi dan Kompetisi yang Tidak Ada Duanya

Batu Bernyanyi dan Kompetisi yang Tidak Ada Duanya

Awal Mula Ide yang Aneh

Di Desa Batu Rebah, yang dinamai demikian karena ada sebuah batu besar yang malas bergerak sejak zaman purba (dan, sejujurnya, karena batu memang tidak terkenal suka berjalan-jalan), sebuah pengumuman mengguncang warganya seperti letusan popcorn di microwave. Kepala Desa, Pak Samin, yang terkenal dengan ide-idenya yang lebih nyeleneh daripada resep es krim rasa rendang, mengumumkan bahwa akan diadakan Kompetisi Menyanyi untuk Batu.

“Kenapa untuk batu?” tanya Bu Warti, pemilik warung nasi yang selalu menganggap ide-ide kepala desa sebagai hiburan gratis.

“Karena,” jawab Pak Samin dengan penuh keyakinan yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang baru saja membaca setengah artikel online, “batu adalah simbol ketenangan, stabilitas, dan… yah, mereka juga tidak pernah menginterupsi saat kau menyanyi, kan?”

Warga desa mengangguk pelan, sebagian karena mereka kagum dengan keberanian Pak Samin untuk mengucapkan hal-hal yang mereka sendiri tidak pernah pikirkan, dan sebagian lagi karena mereka tidak punya ide yang lebih baik untuk mengisi akhir pekan.

Persiapan Kompetisi

Persiapan kompetisi dimulai dengan sangat serius. Batu-batu di desa dibersihkan dan dipoles seolah-olah mereka adalah tamu kehormatan. Bahkan ada yang menambahkan lipstik pada beberapa batu, meskipun tidak ada yang tahu apakah itu membuat mereka terlihat lebih “berkarakter.”

Sementara itu, para peserta mulai berlatih. Ada Pak Joyo, yang percaya bahwa menyanyikan lagu dangdut klasik dengan penuh perasaan akan membuat batu tergerak (meskipun, secara teknis, batu tidak punya hati). Ada juga Mbak Sri, yang memilih lagu pop modern dan berusaha menyesuaikan nada suaranya dengan gema suara yang ia bayangkan keluar dari batu.

Namun, yang paling menarik perhatian adalah Pak Manan, si tukang ojek yang memutuskan untuk menyanyikan lagu-lagu heavy metal. “Aku yakin batu suka sesuatu yang keras,” katanya sambil menyetel gitarnya yang hanya memiliki tiga senar namun entah bagaimana tetap menghasilkan suara seperti badai.

Hari Kompetisi

Hari besar pun tiba. Alun-alun desa dipenuhi dengan warga yang membawa kursi lipat, termos kopi, dan harapan besar bahwa ini akan menjadi acara paling menghibur sejak lomba makan kerupuk dengan tangan terikat di belakang punggung.

Batu-batu yang menjadi “juri” ditempatkan di panggung utama, masing-masing diberi nama seperti “Batu Gagah,” “Batu Manis,” dan “Batu Pemalu.” Tidak ada yang tahu siapa yang memberi nama, tetapi semua orang setuju bahwa itu menambah suasana kompetisi.

Pak Samin memulai acara dengan pidato yang lebih panjang daripada yang diperlukan, di mana dia membahas hubungan spiritual antara manusia dan batu, yang terdengar seperti kutipan dari buku filosofi bekas.

“Ladies and gentlemen,” katanya dengan nada serius, “hari ini kita menyanyi bukan untuk menang, tetapi untuk menginspirasi batu-batu ini!”

Penampilan yang Tidak Terlupakan

Penampilan pertama adalah Pak Joyo, yang menyanyikan lagu dangdut dengan penuh semangat. Ia bahkan membawa kipas angin kecil untuk menciptakan efek angin pada syal yang ia kenakan. Batu-batu tampak… yah, tetap menjadi batu, tetapi Pak Joyo yakin ia melihat sedikit kilauan di permukaan Batu Gagah, yang ia anggap sebagai tanda apresiasi.

Mbak Sri tampil berikutnya dengan lagu pop yang catchy. Ia bahkan mengajak penonton untuk ikut menyanyi, meskipun sebagian besar dari mereka hanya bertepuk tangan dengan ritme yang salah. Setelah selesai, ia melemparkan bunga mawar ke Batu Manis, yang, tentu saja, tetap tidak bereaksi.

Puncak acara adalah penampilan Pak Manan. Dengan gitar tiga senarnya, ia memainkan lagu heavy metal yang membuat semua burung di sekitar alun-alun terbang ketakutan. Suaranya yang menggelegar membuat beberapa warga menutup telinga, tetapi Batu Pemalu tampak sedikit miring setelah itu, yang oleh Pak Manan dianggap sebagai tanda bahwa ia telah “menggoyang” hati sang batu.

Keputusan Akhir

Setelah semua peserta selesai tampil, Pak Samin naik ke panggung untuk mengumumkan hasilnya. “Setelah diskusi panjang dengan para juri,” katanya, sambil menunjuk ke arah batu-batu yang, tentu saja, tidak pernah benar-benar berdiskusi, “kami memutuskan bahwa pemenangnya adalah… SEMUANYA!”

Warga bersorak. Tidak ada yang kecewa dengan hasil ini, karena mereka semua tahu bahwa batu-batu itu sebenarnya tidak peduli siapa yang menang.

“Dan sebagai hadiah,” lanjut Pak Samin, “kita semua akan mendapatkan kupon diskon untuk warung nasi Bu Warti!”

Bu Warti tampak sedikit terkejut, tetapi ia dengan cepat menyembunyikan ekspresi itu dengan senyuman palsu yang sempurna.

Kesimpulan

Kompetisi Menyanyi untuk Batu di Desa Batu Rebah menjadi cerita yang akan diceritakan selama bertahun-tahun. Tidak ada yang benar-benar tahu apakah batu-batu itu menikmati lagu-lagu yang dinyanyikan untuk mereka, tetapi satu hal pasti: warga desa menikmatinya.

Dan meskipun batu-batu itu tetap diam, mereka kini menjadi simbol persatuan dan kreativitas desa. Atau, seperti yang dikatakan Pak Samin, “Batu-batu ini mungkin tidak bersuara, tetapi mereka mengajarkan kita untuk mendengarkan.”


Prompt Gambar: “A cheerful village square with a stage where people sing passionately to a row of polished stones, each stone given funny names like ‘Batu Gagah’ and ‘Batu Manis’. Villagers watch while laughing and clapping, and a man plays a guitar with only three strings in a heavy metal style.”