Pembuka: Sebuah Aplikasi yang Mengubah Segalanya (Atau Mungkin Tidak)
Di sebuah kantor startup kecil di Jakarta, seorang pemuda bernama Wisnu sedang sibuk memprogram sesuatu yang ia sebut sebagai “Aplikasi Penemuan Makna”. Dengan kemeja flanel yang sudah mulai kehilangan bentuknya dan secangkir kopi dingin yang lebih menyerupai eksperimen ilmiah daripada minuman, Wisnu memandang layar laptopnya dengan intensitas seperti seorang arkeolog yang berusaha menggali fosil dinosaurus—hanya saja dalam kasus ini, fosil itu adalah baris kode yang penuh dengan tanda titik koma yang salah tempat.
Aplikasi ini, menurut Wisnu, akan menjadi revolusi digital terbesar sejak penemuan emotikon berbentuk wajah tersenyum. “Kita hidup di dunia yang penuh dengan ‘scrolling’ tanpa arti!” serunya kepada rekan kerjanya, Fajar, yang sedang sibuk mengupas pisang dengan kehati-hatian seorang ahli bedah otak.
“Ya,” jawab Fajar, yang tidak benar-benar mendengarkan. “Tapi kenapa harus ada unicorn di logo aplikasi kita?”
Wisnu mengabaikan pertanyaan itu. Menurutnya, unicorn adalah simbol aspirasi yang tidak mungkin tercapai, yang secara kebetulan juga menjadi deskripsi yang sangat akurat untuk sebagian besar ide bisnisnya. Tapi kali ini, ia yakin. Aplikasi Penemuan Makna akan menjadi penyelamat umat manusia, atau setidaknya akan menghasilkan cukup banyak pendapatan iklan untuk membeli mesin kopi baru.
Fitur Aplikasi: Antara Refleksi dan Kegilaan
Prinsip dasar dari aplikasi ini sebenarnya cukup sederhana: pengguna memasukkan pertanyaan eksistensial mereka—seperti “Apa tujuan hidup saya?” atau “Kenapa saya lebih suka mie instan daripada nasi goreng?”—dan aplikasi akan memberikan narasi yang dirancang untuk membantu mereka menemukan makna.
Tetapi, karena Wisnu adalah seorang penggemar berat film fiksi ilmiah dan buku filsafat yang ia baca setengah, algoritma aplikasi ini menjadi campuran antara inspirasi mendalam dan kebingungan total.
Misalnya, seorang pengguna bernama Bu Rini, seorang ibu rumah tangga yang bosan dengan rutinitas harian, mengetikkan pertanyaan: “Kenapa hidup saya terasa seperti lingkaran tanpa ujung?” Aplikasi itu menjawab dengan narasi yang dimulai sebagai refleksi mendalam tentang waktu, tetapi entah bagaimana berakhir dengan kisah tentang seekor ikan mas yang mencoba belajar bermain trompet.
Narasi lain adalah hasil dari kolaborasi algoritma yang tidak disengaja antara database cerita rakyat lokal, teori relativitas, dan satu skrip film superhero yang salah masuk ke basis data. Hasilnya? Sebuah kisah tentang seorang petani padi di Yogyakarta yang menemukan lubang cacing di sawahnya dan akhirnya menjadi penguasa galaksi, hanya untuk menyadari bahwa ia benar-benar merindukan ayam peliharaannya.
Masalah Teknologi dan Filosofi Palsu
“Wisnu,” kata Fajar suatu pagi, “aplikasi ini mulai mendapatkan ulasan aneh di toko aplikasi.”
“Ulasan bagus atau ulasan buruk?” tanya Wisnu dengan penuh antisipasi.
“Sulit untuk diklasifikasikan,” jawab Fajar. “Seorang pengguna mengatakan aplikasi ini membuatnya menangis selama tiga jam, lalu tertawa tanpa henti selama dua jam berikutnya. Pengguna lain mengatakan aplikasi ini membuatnya memutuskan untuk belajar bermain harmonika, meskipun ia alergi terhadap logam.”
Wisnu mengangguk perlahan. “Itu berarti algoritmanya bekerja.”
Namun, masalah sebenarnya muncul ketika aplikasi mulai menghubungkan orang-orang dengan “narasi yang tersembunyi” terlalu harfiah. Seorang pengguna bernama Pak Joko, misalnya, menerima narasi tentang bagaimana ia harus menemukan kebahagiaan dengan menggali halaman belakang rumahnya. Yang mengejutkan, Pak Joko benar-benar menemukan kotak harta karun yang berisi koleksi kartu Pokemon edisi pertama. Ia kini menjadi jutawan, tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan semua uang itu, sehingga ia kembali mengunduh aplikasi untuk mendapatkan lebih banyak saran.
“Ini tidak masuk akal,” kata Fajar suatu hari, memandang layar laptopnya yang penuh dengan laporan bug. “Bagaimana aplikasi ini bisa memberikan jawaban yang begitu spesifik? Bukankah algoritmanya hanya berdasarkan kata kunci dan data acak?”
Wisnu mengangkat bahu. “Mungkin ada sesuatu yang lebih besar yang bekerja di balik algoritma kita. Mungkin… aplikasi ini benar-benar memiliki akses ke semacam kesadaran universal.”
Fajar mendengus. “Atau mungkin kita hanya sangat beruntung dengan generator angka acak.”
Twist: Makna yang Tidak Pernah Diharapkan
Ketika aplikasi ini semakin populer, Wisnu dan Fajar mulai menerima undangan untuk berbicara di berbagai konferensi teknologi. Di salah satu konferensi tersebut, seorang profesor filsafat tua bernama Pak Surya mendekati mereka.
“Saya harus mengucapkan terima kasih,” katanya. “Aplikasi kalian membantu saya menemukan makna dalam hidup saya.”
Wisnu tersenyum. “Oh, itu luar biasa! Apa yang aplikasi kami katakan kepada Anda?”
“Sebenarnya, aplikasi itu tidak benar-benar mengatakan apa-apa,” jawab Pak Surya. “Saya mencoba memasukannya dengan pertanyaan eksistensial seperti ‘Apa arti keberadaan saya?’ Tetapi aplikasi itu hanya memberikan jawaban berupa satu kata: ‘Nasi.’”
“Nasi?” tanya Fajar, bingung.
“Ya,” kata Pak Surya. “Awalnya saya marah. Saya pikir aplikasi kalian rusak. Tapi kemudian saya mulai berpikir: nasi adalah dasar dari kehidupan kita di Indonesia. Tanpa nasi, apa yang akan kita makan? Tanpa makan, bagaimana kita bisa berpikir? Jadi saya menyadari bahwa makna hidup saya adalah mendukung petani lokal dan memastikan setiap orang memiliki akses ke makanan yang layak. Dan sekarang, saya memulai gerakan nasional untuk mendukung pertanian berkelanjutan.”
Wisnu dan Fajar saling memandang. Mereka tidak tahu apakah harus merasa bangga atau takut bahwa aplikasi mereka mungkin memiliki lebih banyak dampak sosial daripada yang mereka rencanakan.
Penutup: Pelajaran Hidup dari Sebuah Aplikasi
Pada akhirnya, Aplikasi Penemuan Makna menjadi fenomena global, meskipun sebagian besar pengguna masih bingung apakah aplikasi itu benar-benar membantu mereka atau hanya membuat mereka tertawa. Wisnu dan Fajar belajar bahwa terkadang, makna tidak ditemukan dalam jawaban yang tepat, tetapi dalam perjalanan untuk mencari jawaban itu sendiri.
Dan pada hari peluncuran versi premium aplikasi itu, yang menawarkan narasi eksklusif dengan biaya tambahan, Wisnu hanya bisa tersenyum dan berkata, “Ternyata, makna hidup adalah… monetisasi.”
Dall-E Prompt (in English): “A humorous illustration of two quirky tech developers in a small startup office, surrounded by coffee cups, laptops, and a glowing holographic interface of a ‘Meaning Discovery App’. The scene is filled with whimsical, surreal details like a unicorn logo on the wall and random philosophical notes scattered everywhere.”