Prolog yang Aneh dan Tidak Terduga
Di sebuah desa kecil yang lebih sering tampil di kartu pos daripada peta, ada seorang anak gembala bernama Pardi yang memiliki bakat luar biasa dalam seni bercerita. Sayangnya, bakat ini lebih sering ia gunakan untuk menipu penduduk desa dengan teriakan palsu tentang serigala yang konon menyerang dombanya. Penduduk desa, yang sudah lelah berulang kali dikelabui, akhirnya memutuskan bahwa mereka akan mengabaikan Pardi sepenuhnya—bahkan jika suatu hari nanti ia benar-benar diterkam serigala.
Ironisnya, inilah yang benar-benar terjadi suatu sore ketika seekor serigala nyata, bernama Sugeng (karena mengapa tidak?), muncul di padang rumput dengan niat awal hanya untuk memakan beberapa domba. Namun, Sugeng adalah serigala yang memiliki cita rasa artistik. Ia mendapati dirinya tertarik pada suara Pardi yang berteriak panik dengan intonasi yang begitu dramatis. Di tengah kekacauan itu, Sugeng berhenti, mengamati, dan dengan taringnya yang masih penuh dengan wol, ia berkata, “Kau tahu, aku jarang mengatakannya pada manusia, tapi kau punya bakat.”
Pardi, yang jelas-jelas syok mendengar serigala berbicara, hanya mampu tergagap, “A-apa?”
“Intonasi, emosi, penjiwaan. Sangat kuat. Tapi kurang dikembangkan,” lanjut Sugeng, dengan nada seperti seorang sutradara teater yang kecewa. “Kau butuh pelatihan. Dan akulah serigala yang akan membantumu.”
Kelas Akting yang Tidak Biasa
Sugeng, seperti yang ternyata, adalah pendiri satu-satunya kelas akting di desa itu. Lebih mengejutkan lagi, kelas ini melibatkan beberapa peserta yang sangat tidak konvensional: ayam, kambing, dan bahkan satu ekor kura-kura yang mengira dirinya seniman mime. Sugeng percaya bahwa seni adalah cara terbaik untuk mengatasi naluri dasar. “Jika aku bisa mengalihkan energiku dari mengejar domba menjadi memperjuangkan peran Hamlet,” katanya, “mengapa yang lain tidak bisa?”
Pardi, yang ingin memperbaiki reputasinya di desa, memutuskan untuk bergabung. Tidak ada yang bisa lebih ironis daripada belajar seni kejujuran dari serigala yang dikenal sebagai predator licik.
Namun, kelas itu sendiri adalah kekacauan yang penuh logika aneh. Sugeng membagi pelajaran menjadi dua sesi: satu untuk pengembangan karakter dan satu untuk kontrol emosi. Dalam sesi pengembangan karakter, Pardi diminta untuk memerankan seekor domba agar ia memahami perasaan menjadi mangsa. Sugeng, di sisi lain, mencoba meresapi peran sebagai manusia yang memanggil bantuan. Hasilnya? Sugeng menghabiskan satu jam mencoba menirukan suara manusia dengan hasil yang terdengar seperti kambing bersin.
“Ini… ini tidak berhasil,” ujar Sugeng akhirnya, menghapus air mata dari matanya (atau setidaknya, itulah yang diklaimnya; sebenarnya ia hanya menggaruk moncongnya dengan cakarnya). “Kita butuh metode baru.”
Konflik di Panggung Drama
Di tengah proses latihan ini, muncul konflik yang tidak terhindarkan. Salah satu ayam, yang dikenal dengan nama Mbak Sri, merasa bahwa perannya sebagai pohon dalam drama mereka tidak memberikan cukup ruang untuk ekspresi artistik. “Aku lebih dari sekadar properti latar belakang!” serunya dengan marah, mengepakkan sayapnya dengan dramatis. “Aku ingin menjadi tokoh utama!”
Sugeng, yang mencoba tetap profesional, menjawab, “Mbak Sri, sebagai pohon, kau adalah simbol keteguhan dan ketenangan. Tanpamu, adegan ini kehilangan pondasinya.”
“Simbol, simbol,” gumam Mbak Sri sambil menggerutu. “Aku ini ayam, bukan metafora!”
Sementara itu, Pardi mulai meragukan keputusannya. Ia menyadari bahwa menjadi bagian dari produksi ini tidak hanya tentang belajar akting, tetapi juga tentang memahami perspektif yang berbeda—bahkan jika perspektif itu berasal dari ayam yang terlalu ambisius.
Pertunjukan Besar
Akhirnya, tiba hari pertunjukan. Sugeng, yang telah bekerja keras untuk menyatukan semua elemen produksi, memutuskan bahwa mereka akan menampilkan adaptasi unik dari kisah klasik Romeo dan Juliet. Namun, dalam versi mereka, cerita berakhir dengan Juliet (diperankan oleh Mbak Sri) melarikan diri dengan Romeo (Pardi) untuk memulai bisnis kebun apel.
Pertunjukan ini, yang diselenggarakan di tengah padang rumput, menarik perhatian penduduk desa yang awalnya skeptis. Mereka datang, sebagian besar karena penasaran ingin melihat apa yang dilakukan Pardi bersama serigala dan ayam. Sugeng, dengan auranya yang penuh karisma, membuka pertunjukan dengan monolog tentang pentingnya seni dalam melampaui naluri dasar. “Kita semua adalah aktor,” katanya, “dan dunia ini adalah panggung yang penuh dengan ekspektasi yang harus kita tantang!”
Pertunjukan itu, yang penuh dengan improvisasi liar (karena kambing yang lupa dialog dan kura-kura yang tertidur di tengah adegan), mendapatkan tepuk tangan meriah dari para penonton. Bahkan kepala desa, yang terkenal keras kepala, mengakui bahwa ia “terharu, meskipun sedikit bingung.”
Epilog yang Menghangatkan Hati
Setelah pertunjukan, Pardi mendapati dirinya menjadi pahlawan lokal. Penduduk desa mulai mendengarkannya lagi, bahkan jika ia masih memiliki kecenderungan untuk membesar-besarkan cerita. Sugeng, di sisi lain, memutuskan untuk pensiun dari dunia seni dan membuka sekolah menulis skenario, dengan fokus pada cerita yang tidak melibatkan serigala sebagai penjahat.
“Jadi, Sugeng,” tanya Pardi suatu hari, “mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau berhenti menjadi serigala seperti biasanya?”
Sugeng merenung sejenak sebelum menjawab, “Karena dunia ini penuh dengan narasi yang tidak adil. Aku ingin membuktikan bahwa serigala bisa menjadi lebih dari sekadar klise predator. Dan, jujur saja, aku benar-benar bosan dengan rasa domba.”
Dengan itu, Pardi dan Sugeng menjadi mitra dalam seni, membuktikan bahwa bahkan dalam dunia yang tampaknya penuh dengan konflik, humor dan imajinasi bisa menyatukan yang paling tidak mungkin.
Prompt untuk DALL-E: “A whimsical scene of a shepherd boy and a wolf rehearsing a play in a meadow, surrounded by a chicken as a tree and a turtle as a mime, with a humorous and theatrical atmosphere.”